Dari data penelitian transportasi disebutkan, 40 % penyebab kerusakan jalan adalah karena air, 30 % karena kelebihan muatan, dan sisanya karena bencana alam. Faktor konstruksi jalan juga punya andil dalam kerusakan jalan di tanah air. Contohnya, jalan-jalan di Jakarta hanya dilalui kendaraan-kendaraan kecil dan bermuatan ringan. Akan tetapi faktanya, banyak pula jalan diwilayah ibu kota Jakarta yang rusak dan berlubang.
"Kasus tersebut juga terjadi di ruas busway yang usianya belum genap tiga tahun. Mengacu pada kasus itu, berarti faktor konstruksi ikut andil juga," ujarnya.
Iskandar membantah pihaknya membiarkan terjadinya kelebihan tonase. Selama ini pihaknya sudah melakukan pengawasan secara ketat. "Tapi harus diketahui, pengelolaan jembatan timbang sudah dialihkan ke pemerintah provinsi (pemprov). Jadi, pihak Dephub tidak secara langsung turun ke lapangan, "katanya.
Dia mengatakan, akan segera berkoordinasi dengan pihak terkait baik Departemen Pekerjaan Umum (PU) dan Dinas Perhubungan Provinsi untuk menerapkan kebijakan toleransi 50% dari jumlah beban yang diijinkan (JBI). "Kebijakan ini masih perlu dibicarakan serta sosialisasi dengan bersama pihak-pihak terkait. Kalau bisa terealisasi akhir tahun 2008 sudah bagus," tambahnya.
Lebih Cepat
Selama ini, lanjut Iskandar, banyak kendaraan yang melintas di jalan melebihi 50 % JBI, bahkan sampai 100 %. Akibatnya, jalan darat rusak lebih cepat dibandingkan usia efektifnya. Namun demikian, perlu dipahami bahwa kelebihan muatan, bukan satu-satunya penyebab kerusakan jalan, tapi juga air atau bencana alam.
Dikatakan, dalam UU Nomor 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Pasal 12 disebutkan, setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus sesuai dengan peruntukan nya, memenuhi persyaratan teknis, dan laik jalan serta sesuai dengan kelas jalan yang dilalui.
"Sesuai ketentuan yang ada, jalan kelas II beban muatannya maksimal 10 ton dan jalan kelas III maksimal 8 ton."
Dia mengingatkan, sesuai hasil rumusan teknis bidang LLAJ tanggal 6-7 Juni 2007 di Yogyakarta tentang penimbangan kendaraan bermotor se-wilayah Lampung, Jawa dan Bali disebutkan, para kepala dinas provinsi melalui unit penimbangan kendaraan bermotor yang berada di wilayahnya wajib melarang melanjutkan perjalanan bagi mobil angkutan barang melanggar lebih dari 50% dari JBI, berupa pengembalian kendaraan ke tempat asal perjalanan dan atau penurunan muatan berlebihan.
Kebijakan tersebut, menurut Iskandar, mulai berlaku 1 Februari 2008 dan saat ini sudah pada tahap penindakan atau tindakan pelanggaran (tilang). Bagi mereka yang melanggar, akan diproses sesuai hukum yang berlaku termasuk penerapan sanksi-sanksinya.
Dimasa mendatang, kata dia, perlu dilakukan pengawasan serta penegakan hukum secara konsisten oleh semua pihak. Tak cukup hanya mengandalkan salah satu, karena masalah ini saling terkait mulai dari hulu sampai hilir.
"Jika ada mata rantai yang terputus, tak ada jaminan upaya penyelamatan kerusakan jalan bisa dihentikan,"katanya.
Sumber: Suara Merdeka (26 Februari 2008)