(Surabaya, 12/5/09) Sosialisasi terhadap Undang-undang Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian terus digencarkan pemerintah.Tak hanya kepada masyarakat sebagai objek, tetapi juga bagi para penyidik baik dari unsur kepolisian maupun unsur Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang perkeretaapian, sebagai aparat penegak hukum.
"Menyamakan persepsi antara penyidik Polri dan PPNS Perkeretaapian perlu dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam merealisasikan amanat UU perkeretaapian yang baru, khususnya penerapan hukum pada kasus kecelakaan di perlintasan kereta api," ungkap Abadi Sastrodiyoto, Kepala Sub Direktorat Advokasi dan PPNS Direktorat Keselamatan dan Teknik Sarana Direktorat Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan di Surabaya, Selasa (12/5).
Hal itu dipaparkan Abadi dalam acara ”Penyuluhan Pedoman Penyidikan Tindak Pidana Perkeretaapian & Diskusi Mengenai Penerapan Hukum Terhadap Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api”, yang digelar Ditjen Perkeretaapian dan dihadiri puluhan perwira Polri se-Polda Jawa Timur serta belasan penyidik kejaksaan setempat.
Abadi berharap, melalui even tersebut, ke depan para penyidik kepolisian tidak hanya mengacu pada KUHP dalam menangani kasus kecelakaan di perlintasan KA. Tetapi juga menjadikan dasar-dasar hukum dan logika teknis terkait perkeretaapian sebagai referensi dalam mencari bukti-bukti dalam penanganan hukum.
"UU Perekeretaapian sangat lengkap dan jelas untuk dijadikan dasar penyidikan. Selain itu, ada juga UU 14/1992 tentang LLAJ yang saat ini dalam proses revisi, PP Nomor 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, serta KM 53/2000 tentang perpotongan dan/atau persinggungan antara jalur KA dengan bangunan lain," paparnya.
Hal senada diungkapkan Kepala Bidang Koordinator Pengawas PPNS Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Polisi Bung Djono, yang juga menjadi pembiacara dan narasumber pada acara tersebut.
Dikatakan Bung Djono, sebagai penyidik, aparat Polri harus cerdas dan benar-benar menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah dan berpedoman pada rambu-rambu dan undang-undang dalam menjalankan tugasnya.
Dalam hal melakukan penyidikan terhadap kasus kecelakaan diperlitasan KA, Bung Djono mengimbau, penyidik Polri tidak melulu mencari bukti-bukti untuk memenuhi unsur dalam Pasal 359 maupun Pasal 360 KUHP.
”Penyidik Polri harus netral dan berpedoman ada azas praduga tak bersalah, dan tidak mencari target tersangka dalam melakukan penyidikan. Karena itu, penyidik jangan cuma berpedoman pada KUHP. Ada pedoman-pedoman hukum lain yang juga harus diperhatikan dan dijadikan dasar, seperti UU 23/2007 tentang Perkeretaapian ini,” tegas Bung Djono.
Dia juga meminta, untuk menjalankan fungsinya sebagai koordinator (Korwas) PPNS, penyidik Polri harus meningkatkan koordinasi dengan para PPNS. Hal tersebut, menurutnya, sesuai yang diamanatkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kepada Polri.
”Ada tiga amanat yang harus dijalankan, yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan menjalankan fungsi sebagai Korwas PPNS. Nah, yang ketiga ini yang sering diabaikan oleh kawan-kawan karena kesibukannya melakukan penyelidikan dan penyidikan,” ungkapnya.
Dalam UU 23/2007, lanjutnya, Polri memang memiliki tanggung jawab untuk terlibat untuk melakukan penyidikan dalam kasus pidana perkeretaapian maupun kecelakaan KA. ”Tetapi dalam pelaksanaannya, kita harus mengedepankan PPNS. Karena PPNS yang paling mengerti soal teknis perkeretaapian. Ini merupakan strategi Polri, agar Polri dapat menimba ilmu dari PPNS. Posisi penyidik Polri di sini lebih untuk membantu PPNS” paparnya.
Kereta Api Prioritas Utama di Jalan Raya
Menurut Abadi, dalam kasus kecelakaan KA yang melibatkan pengguna jalan raya, masinis dan petugas penjaga perlintasan (PJL) KA acap kali dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian. ”Pasal langganan” yang sering digunakan untuk menjerat para masinis dan PJL tersebut adalah pasal 359 dan pasal 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dengan tudingan melakukah kesalahan yang mengakibatkan orang lain luka berat atau meninggal dunia.
Padahal, jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, lanjutnya, masinis dan PJL secara otomatis terbebas dari tuntutan hukum pada kasus kecelakaan KA di perlintasan yang melibatkan pengguna jalan. Karena, dapat dipastikan bahwa kecelakaan itu diawali oleh pelanggaran yang dilakukan pengguna jalan.
Dipaparkan Abadi, sesuai pasal 64 dan 65 pada PP 43/1993 tersebut ditegaskan, setiap pengemudi atau pemakai jalan harus/wajib mendahulukan kereta api. Dari delapan jenis kendaraan, kereta api sendiri menempati urutan pertama dalam urutan/hirarki prioritas kendaraan yang harus didahulukan oleh pengguna jalan.
Jenis kendaraan kedua yang wajib didahulukan pengguna jalan setelah KA adalah kendaraan pemadam kebakaran yang tengah bertugas. Ambulans yang tengah mengangkut orang sakit berada pada urutan ketiga, disusul kendaraan penolong kecelakaan lalu lintas pada posisi keempat. Kemudian pada urutan kelima adalah kendaraan kepala negara atau tamu negara; keenam, iring-iringan jenazah; ketujuh, konvoi, pawai, atau kendaraan orang cacat; dan terakhir adalah kendaraan pengangkut barang khusus.
”Jangankan masyarakat umum, presiden saja wajib ngalah sama kereta api. Jadi jelas, kalau ada kendaraan yang kecelakaan di perlintasan KA, itu karena kesalahannya. Mereka pasti melanggar rambu-rambu peringatan yang ada,” ujar Abadi.
Dia menambahkan, rambu-rambu peringatan yang dipasang di perlintasan KA untuk mengingatkan pengendara jalan raya sendiri tidak sedikit jumlahnya. Ada rambu Tanda Awas Kereta Api, Marka Penggaduh, Tanda Awas Persilangan Jalur Ganda, Speaker Bunyi tanda KA akan melintas, Tanda Stop, Lampu Merah, hingga pintu palang perlintasan.
”Tanda Stop, misalnya, itu berarti ada atau tidak ada kereta yang lewat, pengendara jalan wajib berhenti sejenak. Itu untuk memastikan aman atau tidak dia untuk melintas. Kalau sudah aman, baru dia boleh jalan. Jadi, setiap lewat di perlintasan KA, tidak boleh ada yang langsung lewat,” sambungnya.
Tujuan dipasangnya rambu-rambu dan marka tersebut, jelas Abadi, menegaskan bahwa setiap pengemudi atau pengguna jalan wajib meningkatkan kehati-hatiannya ketika akan melintas di perlintasan KA. Abadi mengimbau, para pengendara jalan tidak mengandalkan pintu palang ketika melintasi perlintasa KA, namun lebih memerhatikan rambu-rambu dan tanda peringatan lainnya.
”Sesungguhnya, tujuan dipasangnya palang di perlintasan KA itu bukan untuk manusia. Tetapi palang itu dipasang untuk menghalangi binatang ternak. Sedangkan yang untuk manusia adalah rambu-rambu peringatan itu. Jadi, jangan heran kalau ada perlintasan yang tidak dilengkapi palang,” jelasnya.
Di sisi lain, secara teknis KA tidak dapat berhenti seketika saat dilakukan pengereman mendadak layaknya kendaraan lain seperti mobil atau sepeda motor. Bobotnya yang begitu besar, terlebih ketika membawa muatan dalam jumlah besar, sangat tidak mendukung KA melakukan pengereman mendadak.
Berdasarkan uji coba, KA dengan bobot antara 280-350 ton yang melaju pada kecepatan 45 km/jam, membutuhkan jarak berhenti setelah pengereman sepanjang 132 meter. Jarak berhenti tersebut akan meningkat jika kecepatan laju KA lebih tinggi. Misalnya, dengan bobot yang sama, KA yang melaju 120 km/jam membutuhkan jarak berhenti sampai 860 meter.
”Jadi, kereta tidak bisa berhenti sembarangan atau mendadak. Dalam UU 23/207 ditegaskan, masinis wajib mematuhi perintah PPKA (perugas pengatur perjalanan kereta api), sinyal atau tanda. Jadi, yang bisa memberikan perintah menjalankan atau memberhentikan hanya PPKA, sinyal atau tanda,” pungkasnya, seraya meminta Polantas untuk langsung menilang jika ada pengguna jalan yang melanggar rambu-rambu di perlintasan. (DIP)