JAKARTA – Masalah kemacetan di kota-kota besar di Indonesia perlu untuk segera ditangani dengan mengoptimalkan layanan angkutan umum massal perkotaan.Sesuai arahan Presiden Joko Widodo mengenai pentingnya angkutan massal perkotaan untuk mengatasi kemacetan di perkotaan di beberapa daerah di Jawa dan luar Jawa yang memiliki jumlah penduduk > 2 juta orang.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) seperti yang diungkapkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mendukung visi Presiden Jokowi untuk mengutamakan angkutan massal perkotaan, dengan memberikan perhatian penuh kepada upaya penyelenggaraan angkutan umum massal perkotaan. Bahkan, saat itu, Menhub Budi Karya Sumadi usai rapat kabinet terbatas tahun 2023, langsung menindaklanjuti political will Pemerintah yang ingin mewujudkan angkutan massal perkotaan yang baik. Kemenhub langsung mendukung sepenuhnya dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang selaras.
Adapun kebijakan yang selaras dan berkelanjutan ini meliputi tiga aspek, yaitu aspek pelayanan, aspek pembiayaan, dan aspek kolaborasi. Dalam menyinergikan ketiga aspek tersebut, aspek pelayanan tersebut perlu adanya kerja sama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan layanan angkutan massal perkotaan.
Adapun aspek pembiayaan, lanjut Menhub, diterapkan untuk mendukung operator agar bisa memberikan layanan yang optimal bagi masyarakat. Kebijakan pembiayaan untuk penyelenggaraan layanan angkutan massal perkotaan, menurut Menhub dapat dilakukan dengan memberlakukan program non farebox revenue --pendapatan operator tidak bergantung pada tarif yang dibayarkan oleh penumpang, misalnya yang pertama adalah pemberian subsidi angkutan massal, penetapan parkir progresif, dan ERP; yang kedua adalah penerapan skema land value capture untuk angkutan umum/massal berbasis rel; dan ketiga, biaya tenant dan iklan lainnya.
Selanjutnya pembiayaan melalui kolaborasi ini dapat dilakukan melalui kerjasama antar Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah atau pihak ketiga/swasta (selaku operator angkutan umum/massal eksisting) maupun penyediaan angkutan umum/massal berbasis demand (angkutan bus khusus ke/dari kawasan perumahan seperti Lippo Karawaci, Sentul Selatan dll).
“Kolaborasi merupakan hal yang penting dalam membangun transportasi di daerah antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,” ujar Dirjen Hubdat Hendro Sugiatno dalam Forum Diskusi Sektor Transportasi dengan tema “Mendorong Peran Pemerintah Daerah Dalam Percepatan Penyelenggaraan Sistem Angkutan Massal Perkotaan Berbasis Jalan” di Jakarta Kota, medio Juli 2023 lalu.
Lebih lanjut, Hendro menegaskan perlunya kolaborasi karena Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah memiliki permasalahan yang sama. “Yaitu adanya keterbatasan anggaran untuk membiayai pembangunan dan pengembangan infrastruktur transportasi di daerah, sehinggadiperlukan alternatif sumber pembiayaan lain,” imbuhnya.
Contohnya, ungkap Hendro, keterlibatan pihak swasta dalam pembiayaan berorientasi komersial dalam membangun transportasi di daerah adalah salah satu cara untuk memperbesar kapasitas dalam menutup batas pembiayaan transportasi publik, baik sarana maupun prasarana dalam APBD. “Yang terpenting ada komitmen dan kemauan, sehingga APBD bisa digunakan untuk hal lainnya seperti membangun angkutan perintis,” jelasnya.
Hendro menegaskan komitmen merupakan hal penting dalam kolaborasi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pihak swasta/operator. Kebijakan penyelenggaraan angkutan massal transportasi perkotaan memiliki prinsip/tujuan utama. “Tujuannya adalah untuk menambah populasi angkutan umum, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, dan memperpendek jarak tempuh perjalanan warga,” jelasnya, seraya menambahkan bakwa faktor tata ruang juga perlu diperhatikan jika ingin membangun transportasi massal.
Sebagai informasi, ihwal pentingnya membangun transportasi umum/massal perkotaan, karena prediksi para pakar transportasi pada dua dekade mendatang bahwa arus perpindahan penduduk dari desa ke perkotaan (urbanisasi) berkembang pesat, diperkirakan sejumlah 230 juta penduduk Indonesia akan tinggal di enam perkotaan metropolitan (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Makassar).
Belum memadainya ketersediaan sistem angkutan umum massal perkotaan di kota-kota besar akan berdampak pada kemacetan lalu lintas dan kerugian ekonomi sebesar Rp15 triliun per tahun pada lima wilayah kota metropolitan yaitu, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, dan Makassar.
Demikian halnya, mentropolitan Jakarta yang juga termasuk dalam kota termacet di Asia sehingga dampak kerugian ekonomi yang diakibatkan dari kemacetan lalu lintas mencapai Rp65 triliun per tahun.
Dari data Ditjen Perhubungan Darat (Hubdat), pangsa angkutan umum/massal Jakarta, Bandung, dan Surabaya masih di bawah 20 persen, sementara kota-kota besar lain di Asia telah memiliki pangsa angkutan umum atas 50 persen.
Oleh karena itu, Ditjen Hubdat Kemenhub menetapkan Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, dan Makassar menjadi proyek prioritas strategis sistem angkutan umum massal perkotaan berbasis kolaborasi, guna mengurangi potensi kerugian ekonomi akibat kemacetan.
Sampai dengan tahun 2020, lima kota (Palembang, Surakarta, Medan, Yogyakarta, dan Denpasar) telah menggunakan layanan Buy the Service dan tahun 2021 ada beberapa kota tambahan (Bandung, Makassar, Banjarmasin, Surabaya, Banyumas, dan Bogor) serta akan berkembang ke kota-kota ataupun kabupaten yang padat penduduk – dengan jumlah melebihi 2 juta orang.
Kementerian Perhubungan antusias mengusung slogan penyelenggaraan angkutan umum/massal yang layak dan memadai dengan mengedepankan layanan prima menjadi bagian yang sangat penting sebagai sarana mobilitas masyarakat dalam beraktivitas sehari hari.
Angkutan umum/massal yang digunakan, Dirjen Hendro menghendaki tidak hanya dituntut untuk dapat mengantarkan orang dengan cepat akan tetapi juga menuntut keselamatan, kenyamanan, keamanan, dan kelayakan.
Dirjen Hendro mengungkapkan, upaya nyata Pemerintah di bidang transportasi dengan menyelenggarakan angkutan umum sebagai layanan wajib dasar. Pemerintah, lanjut Hendro, menilai fungsi pelayanan publik dapat dilihat melalui bagaimana keseriusan Pemerintah menyediakan transportasi publiknya.
Saat ini, menurut Dirjen Hendro, ada penurunan kinerja industri angkutan umum perkotaan yang saat ini tidak lagi efektif dan efisien membuat sebagian masyarakat lebih menggunakan angkutan pribadi dalam melakukan pergerakannya. “Hal inilah yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan transportasi kota seperti penumpukan moda transportasi pada jalanan kota, pencemaran suara dan udara, kecelakaan lalu lintas, pemborosan BBM, hingga kerugian ekonomi,” ujarnya.
Konsekuensinya adalah, lanjut Dirjen Hendro, perlu diadakan intervensi terhadap sistem angkutan umum dan sistem transportasi kota.
Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 158 yang menyebutkan bahwa Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum di kawasan perkotaan.
Sejauh ini, menurut Dirjen Hendro, Pemerintah telah melakukan pembangunan dan pengembangan bagi transportasi publik melalui beberapa langkah, antara lain melakukan pembinaan; melakukan penyelenggaraan untuk memenuhi kebutuhan akan transportasi perkotaan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau; melalui penyedian layanan; subsidi angkutan umum/massal.
“Subsidi yang diberikan bertujuan untuk memberikan stimulus pengembangan angkutan perkotaan, meningkatkan minat penggunaan angkutan umum, serta kemudahan mobilitas masyarakat di kawasan perkotaan,” ujarnya.
Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah II Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Erliani Budi Lestari menyampaikan dukungannya atas upaya pencapaian target pembangunan nasional untuk penyediaan angkutan umum perkotaan. Pemerintah Daerah, lanjut Erliani, diharapkan dapat menyediakan angkutan umum perkotaan khususnya pada kota dengan tingkat mobilitas dan kemacetan yang tinggi.
Upaya tersebut, menurut Erliani sebagai langkah meningkatkan pelayanan publik, mengurangi kemacetan, meningkatkan keselamatan, dan mendukung wilayah pariwisata di daerah.
“Meskipun dalam penyediaan angkutan massal tersebut, perlu dilakukan kajian dan kesiapan yang matang, terutama pada kebutuhan mobilitas masyarakat,” saran Erliani.
Erliani juga sepakat dalam penyediaan angkutan massal perkotaan perlu sinergi dan kolaborasi antar tingkatan Pemerintahan dalam upaya mendukung integrasi baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan, misal penyediaan bus rapid transit (BRT) yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi juga didukung oleh pemerintah kabupaten/kota dalam penyediaan angkutan feeder menuju trayek layanan angkutan umum pada kawasan lingkungan di wilayahnya sesuai dengan kewenangannya.
Penerapan Angkutan Massal Perkotaan Perlu Strategi
Guru Besar IPDN/Presiden i-OTDA Djohermansyah mengomentari soal strategi Pemerintah Kota dalam menyediakan angkutan umum massal perkotaan. Djohermansyah mengungkapkan, perlunya langkah bertahap. Diawali dengan upaya memperbaiki angkutan umum massal yang sudah ada hingga mengundang minat masyarakat untuk menggunakan. Kedua, membuat peraturan tentang penetapan tarif angkutan (jalur dan jarak yang integratif); Ketiga, menetapkan model subsidi operasional transportasi menyesuaikan kemampuan APBD dan menjalin kerjasama dengan pihak ketiga; dan Keempat, menggalang dukungan politik DPRD, ormas, pejalan kaki, dan lainnya.
Upaya mengalihkan minat (shifting) masyarakat perkotaan untuk menggunakan angkutan massal perkotaan bukanlah kerja instan, namun membutuhkan waktu perubahan budaya dan karakter masyarakat untuk berpindah dari kenyamanan penggunaan angkutan pribadi kepada angkutan massal.
“Hal ini memerlukan waktu dan edukasi serta teladan (endorsement) yang berkelanjutan maupun dukungan seluruh lapisan masyarakat,” kata Djohermansyah.
Sembari dia mengutip kata bijak Enrique Penalosa (mantan Wali Kota Bogota, Kolumbia) bahwa ”Kota yang maju bukanlah kota di mana orang miskin menggunakan mobil, melainkan kota yang membuat orang kaya biasa menggunakan angkutan umum massal,”. (AS/IS/RY/HG)