JAKARTA – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyampaikan laporan akhir investigasi terkait kecelakaan Air Asia QZ8501 yang jatuh di Perairan Selat Karimata, dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, 28 Desember tahun lalu. Hasil investigasi disampaikan oleh ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono didampingi Ketua Tim Investigasi AirAsia QZ8501 Marjono Siswosuwarno, dan Pelaksana Tugas (Plt) Kasubkom Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo di kantor KNKT, Jakarta (1/12).
Dalam pelaksanaan investigasi kecelakaan ini, KNKT mendapat bantuan dari ATSB (Australia), BEA (Perancis), AAIB (Singapura), dan MOT (Malaysia) yang bertindak sebagai accredited representatives. Dari hasil investigasi ini, KNKT menerbitkan rekomendasi kepada Indonesia Air Asia, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Airbus, Federal Aviation Administration (FAA) dan European Aviation Safety Administration (EASA).
“Pada tanggal 28 Desember 2014, sebuah pesawat airbus A320 yang dioperasikan PT. Indonesia AirAsia dalam penerbangan dari Bandar Udara Juanda berangkat jam 05.35 WIB, Surabaya menuju Bandar Udara Changi, Singapura dengan ketinggian jelajah 32.000 kaki di atas permukaan air laut,” jelas Soerjanto di depan puluhan insan pers yang hadir.
Soerjanto menjelaskan, dalam penerbangan tersebut captain pilot bertindak sebagai pilot monitoring, sementara kopilot bertindak sebagai sebagai pilot flying.
“Pesawat inidiperkirakan tiba di Singapura pada pukul 08.36 waktu Singapura (07.36 WIB),” ungkap Soerjanto.
Sementara Ketua Tim Investigasi AirAsia QZ8501, Marjono Siswosuwarno menjelaskan, sejak pukul 06.01 WIB, flight data recorder (perekam data penerbangan/FDR) mencatat terjadi empat kali aktivasi tanda peringatan yang disebabkan karena gangguan pada sistem rudder travel limiter (RTL). Gangguan ini mengaktifkan electronic centralized aircraft monitoring (ECAM).
“Tiga gangguan awal yang muncul pada sistem RTL telah ditangani oleh awak pesawat sesuai dengan langkah-langkah yang tertera pada ECAM dan gangguan tersebut bukanlah suatu yang membahayakan penerbangan” tuturnya.
Pada jam 06.15 WIB, lanjut Marjono, terjadi gangguan lagi yang keempat kalinya. FDR, katanya, mencatat penunjukan berbeda dengan tiga gangguan sebelumnya, gangguan tersebut memiliki kesamaan dengan kejadian gangguang pada 25 Desember 2014, saat pesawat masih di darat ketika circuit breaker (sakelar pemutus tenaga/CB) dari flight augmentation computer (FAC) direset.
“Tindakan awak pesawat setelah gangguan keempat ini yaitu mengaktifkan tanda peringatan kelima yang memunculkan pesan di ECAM berupa Auto FLT FAC 1 FAULT dan keenam yang memunculkan auto FLT FAC 1+2 FAULT.
Setelah tanda auto FLT FAC 1+2 FAULT muncul, lanjutnya, autopilot dan auto-thrust tidak aktif dan sistem kendali fly by wire pesawat berganti dari normal law ke alternate law yang beberapa proteksinya tidak aktif.
“Pengendalian pesawat oleh awak pesawat secara manual selanjutnya menyebabkan pesawat masuk dalam kondisi yang disebut sebagai upset condition dan stall hingga akhir rekaman FDR,” sambung dia.
Kesimpulan Investigasi KNKT
Laporan akhir investigasi KNKT menyimpulkan faktor-faktor yang berkontribusi pada kecelakaan tersebut, adalah :
1. Retakan solder pada electronik di RTLU menyebabkan hubungan yang berselang dan berakibat pada masalah yang berkelanjutan dan berulang.
2. Sistem perawatan pesawat dan analisis di perusahaan yang belum optimal mengakibatkan tidak terselesaikannya masalah yang berulang. Kejadian yang sama terjadi sebanyak empat kali dalam penerbangan.
3. Awak pesawat melaksanakan prosedur sesuai ECAM pada tiga gangguan yang pertama. Setelah gangguan keempat, FDR mencatat indikasi yang berbeda, indikasi ini serupa dengan kondisi di mana CB direset, sehingga berakibat terjadinya pemutusan arus listrik pada FAC.
4. Terputusnya arus listrik pada FAC menyebabkan autopilot disengage, flight control logic berubah dari normal law ke alternate law, kemudi bergerak dua derajat ke kiri. Kondisi ini mengakibatkan pesawat berguling mencapai sudut 54 derajat.
5. Pengendalian pesawat selanjutnya secara manual pada alternate law oleh awak pesawat telah menempatkan pesawat dalam kondisi upset dan stall secara berkepanjangan, sehingga berada di luar batas-batas penerbangang yang dapat dikendalikan oleh awak pesawat. (RDH)