JAKARTA – Pada jam-jam kerja/sibuk ketika mobilitas masyarakat mulai kembali bergulir kepadatan lalu lintas kendaraan roda dua (motor­) dan roda empat (mobil) di kawasan Jakarta dan kota-kota sekitarnya meningkat secara drastic. Hal ini membuat langit seperti diselimuti awan kelabu. Semenjak dua tahun belakangan, memang jauh berkurang, disebabkan oleh menurunnya mobilitas kendaraan motor dan mobil disebabkan oleh serangkaian kebijakan partial lockdown mulai dari PSBB dilanjutkan dengan PPKM dalam upaya menanggulangi penularan virus Covid-19 di tengah masyarakat.

Perbaiki Skor Air Quality Index

Saat diberlakukannya PSBB/PPKM oleh Pemerintah, tingkat pencemaran udara di kawasan Jakarta dan sekitarnya sepanjang tahun 2021 skor Air Quality Index (AQI) rata-rata di bawah 80 jauh menurun ketimbang pada 2019 -- sebelum pandemi Covid-19 Jakarta dan sekitarnya (Bodetabek) mendapat skor rata-rata 195 dalam AQI, yang artinya mempunyai udara tidak sehat (unhealthy).

Dengan Skor 195 tersebut direkomendasikan agar kelompok sensitif (alergi polutan) untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan. Kendati pandemi Covid-19 sudah reda, setiap orang perlu tetap mengenakan masker untuk mencegah polusi. Perlu menggunakan pemurni udara bila udara dalam ruangan yang tidak sehat.

Rentang nilai/skor dari AQI adalah 0 sampai 500. Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin tinggi tingkat polusi udara di wilayah tersebut. Skor 0-5 berarti kualitas udara bagus, 51-100 berarti moderat, 101-150 tidak sehat bagi orang yang sensitif, 151-200 tidak sehat, 201-203 sangat tidak sehat, dan 301-500 ke atas berarti berbahaya. Kota-kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia antara lain Jakarta, Dubai, Johannesbug, Beijing, dan Santiago.

Agar skor AQI di Jabodetabak tidak meningkat kembali, sebagai kawasan perkotaan maka alternatif penggunaan kendaraan listrik menjadi pilihan. “Pemerintah terus mendorong masyarakat secara bertahap untuk dapat menggunakan kendaraan listrik,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Budi Setiyadi di sela acara Pembukaan GIIAS (Gaikindo Indonesia International Auto Show) 2021 di ICE BSD, Tangerang, Kamis (11/11/) pekan lalu.

“Memang untuk tahap awal, penggunaan kendaraan listrik adalah pertama diinisiasi oleh pemerintah dan yang kedua untuk angkutan umum, “ ujarnya.

Dorong Penggunaan Kendaraan Listrik

Dia menambahkan, kita sudah mendorong aplikator transportasi online (Grab, Gojek, Maxim) untuk menggunakan kendaraan listrik, berikutnya DAMRI juga akan segera launching penggunaan bus listrik.

Populasi sepeda motor listrik saat ini kurang lebih mencapai 10.300 yang sudah beredar di masyarakat, tetapi setelah keluarnya Perpres 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai diharapkan semakin banyak penggunaan kendaraan listrik di masyarakat. “Perkembangan jumlah kepemilikan dan manufaktur industri kendaraan bermotor listrik juga terlihat semakin meningkat, yang awalnya ada 5 APM sekarang sudah ada 22 APM sepeda motor listrik, dan populasi mobil listrik sudah mencapai angka di atas 1500 buah ” ujarnya.

Belum melesatnya populasi kendaraan listrik disebabkan oleh ketersediaan charging station kendaraan listrik yang masih terbatas.

Sesuai Perpres 55/2019, Menko Maritim dan Investasi sudah menugaskan kepada PLN secara bertahap untuk membangun charging station agar ketersediaan charging station di tengah-tengah masyarakat semakin mudah didapatkan.

Lanjut Dirjen Budi, saat ini yang didorong untuk menggunakan kendaraan listrik adalah masyarakat yang berada di wilayah perkotaan dulu. Sekarang kendaraan listrik sudah mulai ada kompleks perkantoran dan mall, termasuk di simpul-simpul transportasi.

Menurut Dirjen Budi, Menteri Perhubungan telah memerintahkan seluruh terminal tipe A dan stasiun KA untuk menyiapkan charging station atau SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum).

Tantangan Ke Depan

Kendaraan listrik merupakan transportasi masa depan yang harus menjadi pilihan agar udara kota tetap bersih dan ramah lingkungan. Namun tantangan ke depan memang diakui cukup besar, diantaranya adalah harga kendaraan listrik yang masih cukup tinggi terutama pada komponen baterainya.

Pemerintah berharap harga baterainya lebih murah dan lebih mudah didapatkan, demikian juga dengan motor listrik nya. Saat ini telah dibangun pabrik baterai di Karawang, Jawa Barat yang ground breaking-nya telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan September lalu.

Dirjen Budi melanjutkan, saat ini yang sedang didorong adalah skema pembelian kendaraan bermotor tanpa baterai, yaitu dengan konsep tukar baterai atau swap baterai. Sudah ada beberapa perusahaan yang bergerak di bidang tersebut diantaranya PT Oyika Powered Solution dan PT. Swap Energi Indonesia. Nantinya, lanjutnya, pengguna dapat menuju ke mini market terdekat yang menyediakan swap baterai, kemudian menukar baterai yang kosong dengan baterai yang telah terisi penuh. “Jadi pembelian sepeda motor listrik bisa lebih murah karena tanpa baterai, mereka cukup bayar sewa saja,” jelasnya.

Selain itu Pemerintah, lanjut Dirjen Budi, juga mendorong masyarakat untuk mengkonversi kendaraan berbasis BBM (Bahan Bakar Minyak) ke kendaraan listrik. Hal ini dapat menjadi salah satu cara untuk mempercepat program elektrifikasi kendaraan bermotor nasional. Peraturannya sudah ada, regulasi tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 65 Tahun 2020 tentang Konversi Sepeda Motor dengan Penggerak Motor Bakar Menjadi Sepeda Motor Listrik Berbasis Baterai.

Ketua V Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Shodiq Wicaksono menyarankan, peralihan penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak ke listrik tidak perlu dipercepat. Tapi sebaiknya berlangsung secara alami di sisi masyarakat maupun industri karena ada banyak faktor inftrastruktur yang akan mempengaruh, contohnya, kata Shodiq, dahulu masyarakat Indonesia menggunakan mobil bertransmisi manual, namun untuk mengenalkannya ke transmisi otomatis dilakukan edukasi oleh APM secara alamiah sampai akhirnya mereka beralih sendiri.

Pasalnya, mobil listrik saat ini saja masih ada empat macam, dari hybrid, plug in hybrid, battery Electric Vehicle (EV) dan Full EV. Padahal mobil hybrid lebih dipahami masyarakat konsumen ketimnbang EV. “Jadi agar masyarakat konsumen mengenal mobil EV mungkin bisa dilakukan dengan pendekatan transisi secara alamiah,” ujar Shodiq pada kesempatan yang berbeda, saat webinar Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi, pada (15/10) lalu. (AS/IS/HG/ME/HS)