JAKARTA – Sebagai negara maritim, laut merupakan senyawa yang tak terpisahkan dari Indonesia. Dengan pulau sebanyak 17.500an, total panjang garis pantai mencapai 81.000 km, serta luas wilayah laut yang mencakup 70 persen dari keseluruhan luas wilayahnya, keberadaan kapal-kapal baik yang tradisional maupun yang modern merupakan bagian penting dari transportasi yang melintasi wilayah nusantara.

Dengan kondisi geografis Indonesia tersebut, fungsi laut secara konvensional adalah sebagai media transportasi dan sarana transportasi laut yaitu kapal masih menjadi alat yang belum tergantikan oleh sarana transportasi lain, seperti pesawat udara atau sarana transportasi darat. Terutama dalam pengangkutan barang (kargo) baik itu domestik maupun internasional.

Kapal sebagai sarana transportasi harus memiliki syarat keselamatan dan kenyamanan. Pemerintah Republik Indonesia telah banyak merilis berbagai peraturan yang mendukung tertibnya kelancaran angkutan laut di tanah air. Namun tidak dipungkiri bahwa ketertiban dan pengoperasian sarana dan prasana relatif berdasarkan standar keselamatan dan kenyamanan masih rendah.

Operasional Sarana Transportasi Laut

Prof. DR. Hj. Etty R. Agoes SH. LLM (2005) dalam Laporan Akhir Tim Analisis Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan tentang Yurisdiksi dan Kompetensi Mahkamah Pelayaran merilis masih rendahnya ketertiban dan pengoperasian sarana dan prasarana transportasi laut, diantaranya adalah masih lemahnya kepedulian para pemilik kapal dan perusahaan dalam menerapkan sistem keselamatan yang efektif serta implementatif di lapangan, kelaiklautan kapal yang lebih berorientasi pada sertifikasi yang notabene tidak didukung dengan pemeriksaan yang seksama, juga pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah terhadap pelaksanaan (drilling) dari persyaratan-persyaratan keselamatan pelayaran yang seringkali tidak konsisten.

Kondisi demikian, lanjut laporan tersebut, juga diperburuk lagi dengan tingkat keamanan di pelabuhan, di kapal, dan di laut yang seharusnya sesuai ketentuan internasional, yakni dengan penerapan kode keamanan internasional terhadap kapal dan fasilitas pelabuhan (The International Ship and Port Facility Security Code – ISPS Code), namun dalam kenyataannya belum sepenuhnya terwujud.

Laporan-laporan kecelakaan pelayaran pada umumnya didominasi oleh permasalahan teknis (terbalik dan tabrakan) akibat aktivitas operasi yang tidak reliable. Di kapal-kapal itu alat-alat keselamatan tidak dipelihara sehingga tiga dari empat alat keselamatan tidak berfungsi, terutama pada pelayaran penumpang dan penyeberangan.

Konsep dasar keselamatan pelayaran, seperti yang disarikan dari laporan tersebut disebutkan antara lain kapal yang hendak berlayar harus berada dalam keadaan laik laut (seaworthiness). Artinya adalah kapal layak untuk menghadapi berbagai resiko dan kejadian secara wajar; kapal layak menerima muatan dan mengangkutnya serta melindungi keselamatan muatan dan anak buah kapal (ABK)-nya; kelaikan kapal mensyaratkan bangunan kapal dan kondisi mesin dalam keadaan baik; nakhoda dan ABK harus berpengalaman dan bersertifikat; perlengkapan, store dan bunker, serta alat-alat keamanan memadai dan memenuhi syarat.

Sebagian besar kapal yang beroperasi di perairan Indonesia ditengarai merupakan kapal-kapal tua dan dikelola dengan manajemen yang kurang professional, sehingga kerap terjadi kecelakaan kapal yang disebabkan tidak taatnya mereka mengikuti konvensi pelayaran baik internasional maupun nasional oleh perusahaan pelayaran di dalam negeri.

Sumber Kecelakaan Kapal

Sejumlah analisis tentang kecelakaan kapal berdasarkan laporan investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) atas sejumlah peristiwa kapal tenggelam yang terjadi di Indonesia, seperti yang dirilis di laman KNKT (2018) menyebutkan, kelebihan muatan, keadaan cuaca/faktor cuaca, medan lintasan selain cuaca, kondisi kapal, dan kepiawaian nahkoda kapal menjadi sumber/penyebab kecelakaan kapal.

Terhadap kasus kecelakaan kapal di Indonesia, Dewan Maritim Indonesia (DMI) juga pernah merilis angka kecelakaan kapal, disebutkan bahwa 72% dari kasus kecelakaan kapal disebabkan oleh kesalahan manusia (human error). Pernyataan Dewan Maritim Indonesia tersebut didukung oleh hasil penelitian independen yang dilakukan oleh International Maritime Organization (IMO) yang menyatakan human error sangat dominan dalam menyumbangkan terjadinya kecelakaan kapal di lautan Indonesia.

Meskipun kecelakaan kapal di Indonesia kerap terjadi, namun penanganan insiden kecelakaan kapal pada umumnya masih bersifat administratif dan dokumentatif yang tidak menyelesaikan akar permasalahan keselamatan pelayaran.

Pemeriksa Kecelakaan Kapal

Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan pada awal Maret 2022 lalu telah mengukuhkan sebanyak 44 orang Pejabat Pemeriksa Kecelakaan Kapal Tahun 2022.

Pengukuhan dilakukan oleh Direktur KPLP, Capt. Weku Frederik Karuntu bertempat di Jakarta.

Kegiatan pengukuhan Pejabat Pemeriksa Kecelakaan Kapal ini merupakan amanat dari pasal 52 ayat (1) huruf e dan pasal 56 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.6 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.

Para Pejabat Pemeriksa Kecelakaan Kapal yang dikukuhkan tersebut sebelumnya telah melaksanakan pendidikan dan pelatihan hingga dinyatakan lulus sertifikasi pemeriksa kecelakaan kapal pada tahun 2021 yang lalu.

Dalam pesannya, Capt. Weku meminta para Pejabat Pemeriksa Kecelakaan Kapal bekerja secara profesional, berintegritas, dan amanah.

”Pejabat Pemeriksa Kecelakaan Kapal yang telah dikukuhkan berarti telah mendapatkan legalitas dan dasar hukum ketika melaksanakan tugas dan kewenangan di lapangan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, yakni salah satu kewenangan Syahbandar adalah melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal dalam rangka pemeriksaan pendahuluan,” ujarnya.

Lebih lanjut Capt. Weku mengungkapkan, seorang pemeriksa kecelakaan kapal dalam melaksanakan tugasnya haruslah benar-benar menjunjung tinggi integritas dan independensi.

Pejabat Pemeriksa Kecelakaan Kapal tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun. Selain itu, seorang Pejabat Pemeriksa Kecelakaan Kapal juga harus menguasai dan memahami segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik peraturan internasional maupun peraturan nasional. Hal itu sebagai dasar ketika melaksanakan pemeriksaan pendahuluan dari mulai melakukan pemanggilan kepada para terperiksa sampai membuat berita acara pendapat/resume terhadap berbagai kasus kecelakaan kapal yang terjadi di Indonesia. (IS/AS/RY/HG)