Jakarta – Kemacetan yang menyebabkan polusi gas buang (CO2) akut dari kendaraan dan pemborosan merupakan tantangan Ibukota Jakarta dan daerah sekitarnya meliputi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Dari tahun ke tahun tingkat kemacetan di Jabodetabek terus meningkat. Berbagai upaya Pemerintah mengatasi kemacetan belum juga mampu menyelesaikan, mulai dari menambah ruas jalan tol baru di Jabodetabek, kebijakan 3 in 1, pengerahan armada bus-bus di terminal/stasiun, hingga pengaturan lalu lintas ganjil genap.

Sementara jumlah kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat bertambah secara signifikan, dibanding pertambahan panjang ruas jalan setiap tahunnya. Data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (DJPD) tercatat sebanyak 21.76 juta kendaraan melintas di Jabodetabek (meliputi mobil, bus, truk, dan motor) pada 2021 dengan pertambahan 7% per tahunnya.

Mengatasi Kendala Transportasi: Banjir dan Macet

Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan – terakhir saat melantik Gubernur DKI Heru Budi Utomo, menegaskan tiga permasalahan utama di Ibukota Jakarta yang harus ditangani segera selain banjir, tata kota, juga kemacetan.

Mengurai problem kemacetan, Presiden menyarankan harus ditangani dengan pendekatan multi disiplin bersama stakeholder transportasi, termasuk Kementerian Perhubungan yang memiliki otoritas di dalam menggulirkan kebijakan terkait moda transportasi darat.

Berbagai kebijakan pengaturan lalu lintas kendaraan di jalan raya yang sudah diberlakukan di DKI Jakarta selama ini, ternyata belum bisa mengatasi problema kemacetan yang tarjadi pada jam dan hari sibuk di saat puncak kepadatan mobilitas orang diJabodetabek.

Salah satu strategi jangka panjang mengatasi kemacetan di Jadebotabek, asumsi para pakar transportasi adalah mengalihkan tren masyarakat yang lebih suka mengendarai kendaraan dan motor pribadi ke sarana angkutan umum – menggunakan transportasi massal – seperti BRT, LRT, KRL dan MRT, kecuali mobilitas orang dengan kepentingan khusus atau VIP.

Agar masyarakat mau beralih menggunakan angkutan umum, tentunya sarana transportasi massal harus memenuhi kriteria aman, nyaman, tepat waktu, selamat sampai tujuan dan tarifnya terjangkau, untuk memenuhi kebutuhan mobilitas orang di DKI Jakarta yang berjumlah sekitar 15 juta warga pada jam kerja.

Pemerintah sudah mengupayakan pada dekade belakangan melalui Kementerian Perhubungan bersama para pemangku kepentingan, menyiapkan moda transpotasi massal yang di sektor transportasi darat dan perkeretaapian untuk mobilitas se-Jabodetabek yang memenuhi syarat tersebut.

Kendati belum semua transportasi massal tersebut beroperasi penuh, seperti Transjakarta Bus Rapid Transit (BRT), Light Rapid Transit (LRT), KRL serta Mass Rapid Transit (MRT), namun transportasi publik itu harus disiapkan sejak awal dan harus siap melayani dari pagi hingga tengah malam.

Angkutan Massal Modern

Salah satunya yang lagi ramai menjadi sorotan masyarakat, pembangunan MRT. Sesuai rencana jangka panjang Kemenhub, tercatat sudah ada empat jalur MRT Jakarta yang telah dan sedang dibangun yakni MRT Jakarta Fase 1, 2, 3 dan 4.

MRT Jakarta Fase I (pertama) yang sudah selesai (2013-2019) selanjutnya pembangunan MRT Jakarta Fase 2 dan 3 dalam proses awal pembangunan, serta Fase 4 masih tahap feasibility study.

Untuk menindaklanjuti pembangunan jaringan MRT Fase 4, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam berbagai kesempatan menawarkan kepada para investor untuk berpartisipasi dalam mengembangkan jaringan transportasi MRT Jakarta koridor East-West (Timur Barat) tersebut.

Selain proyek pembangunan MRT Jakarta Fase 4, Menhub juga menawarkan proyek perkeretaapian lain yaitu LRT di Jakarta dan Bali kepada delegasi Korea Selatan dan juga negara anggota lain peserta 28th ASEAN Transport Minister Meeting pada Senin 17 Oktober 2022 lalu, di Bali.

Mengajak Investor Korea Selatan

Menhub berharap Korea Selatan dapat berpartisipasi dalam pengembangan MRT Jakarta Fase 4. “Kita pernah menjalin kerjasama yang baik sebelumnya saat pembangunan Light Rapid Transit Jakarta fase pertama," ujar Menhub, pekan silam.

Usai kegiatan 28th ASEAN Transport Minister Meeting di Bali, berlanjut dengan menggelar rapat bersama Direktorat Jenderal Perkeretaapian dan K-Consorsium bentukan Korea Selatan di Jakarta untuk menindaklanjuti usulan pembangunan MRT Jakarta Fase 4.

Dalam rapat tersebut, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Risal Wasal menyampaikan bahwa MRT Jakarta Fase 4 akan dibangun pada koridor East-West dan direncanakan akan diintegrasikan dengan koridor North-South yang sudah lebih dulu dibangun (MRT Jakarta Fase 1 dan 2).

"Ada setidaknya tiga usulan rute/jalur yang dikaji pada kajian awal MRT Jakarta Fase 4, yaitu opsi I dari Bandara Soekarno-Hatta sampai dengan Jakarta International Stadium, opsi II dari Pondok Gede sampai dengan Joglo, serta opsi III dari TMII sampai dengan Fatmawati," ungkap Risal kepada media.

Lintas Fatmawati – TMII Menjadi Pilihan

Opsi IIIlintas Fatmawati-TMII menjadi pilihan, menurut Risal, karena memiliki hambatan paling sedikit dan melewati banyak pusat kegiatan masyarakat sehingga diharapkan dapat mengangkut lebih banyak orang dibandingkan opsi lintas lainnya.

"Berdasarkan kajian Multi-Criteria Analysis yang telah dilakukan, lintas yang paling memungkinkan untuk dibangun adalah lintas Fatmawati-TMII," kata Risal.

Sepanjang jalur MRT Jakarta Fase 4, papar Rizal lagi, bakal ada 3 level ketinggian, yakni underground, deep underground, dan elevated. Dari Fatmawati hingga Antasari, jalur akan berada pada level underground. Menjelang Ampera, jalur akan berada pada level deep underground sampai Ranco dan akan terus menanjak sampai masuk level elevated di Tanah Merdeka.

Jalur MRT Fase 4 Paralel Tol JORR

Nantinya pembangunan jalur MRT Jakarta Fase 4 ini akan dibangun paralel dengan Tol JORR dan akan ada 10 stasiun di sepanjang jalur, antara lain Stasiun Fatmawati, Antasari, Ampera, Warung Jati, Tanjung Barat, Ranco, Raya Bogor, Tanah Merdeka, Kampung Rambutan, dan Taman Mini.

Dari stasiun awal keberangkatan (Fatmawati) sampai stasiun akhir (Taman Mini) dapat mempersingkat waktu tempuh menjadi hanya 20 menit saja serta mengurangi kemacetan yang selama ini terjadi pada jam-jam berangkat dan pulang kerja sepanjang rute tersebut.

“Jalur MRT Jakarta Fase 4 tersebut akan mulai dibangun pada 2023 mendatang dan ditargetkan akan beroperasi pada 2030,” papar Rizal lagi.

MRT Jakarta Fase 3 dalam Proses Pengerjaan

Sementara itu, pengembangan jalur MRT Jakarta Fase 3 yang sedang berjalan, dengan progress pembangunan dibagi menjadi dua tahap. Untuk tahap pertama yaitu di wilayah Jakarta Fase 3.1.1 dari Kalideres - Ujung Menteng dan MTT Jakarta (23 Km) dan Fase 3.1.2 dari Kembangan - Taman Anggrek (10,8 km)

Sedangkan untuk Fase di luar wilayah Jakarta, progress pembangunannya juga dibagi dua, meliputi Fase 3.2.1 Balaraja - Kembangan (28,4 km) dan Fase 3.2.2 Ujung Menteng-Cikarang (21,9 km).

Tahap pengerjaannya, ungkap Risal, untuk Fase 3-1 sudah dilakukan penunjukan konsultan engineering service, sementara untuk fase 3-2 baru dilakukan kajian Preparatory Study dan masih harus didalami lagi di tingkat Feasibility Study.

Pembangunan MRT Jakarta Fase 2

Sedangkan MRT Jakarta Fase 2 juga masih dalam proses pembangunan, yang dibagi menjadi beberapa Fase (A dan B). MRT Jakarta Fase 2 akan menghubungkan Stasiun Bundaran HI hingga Kota sepanjang sekitar 5,8 Km. Nantinya sepanjang rute ini akan dibangun tujuh stasiun bawah tanah, yaitu stasiun Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota.

Pengerjaan di bagi Fase 2A ini dibagi ke dalam dua segmen, yaitu Bundaran HI – Harmoni yang ditargetkan rampung Maret 2025 dan selanjutnya segmen Harmoni – Kota yang ditargetkan selesai Agustus 2027. Pembangunan MRT JakartaFase 2A dibangun dengan biaya sekitar Rp 22,5 triliun berasal pinjaman kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Jepang.

Kemudian, MRT Jakarta Fase 2B yang rencananya akan melanjutkan dari Kota sampai dengan Depo Ancol Barat masih dalam tahap studi kelayakan (feasibility study).

Diperkirakan bila pembangunan MRT Jakarta Fase 1, 2, 3 dan 4, serta angkutan masal lain - BRT, LRT dan KRL sudah bisa beroperasi penuh pada 2030 (sesuai target) dibarengi kebijakan pengendalian lalu lintas di DKI Jakarta dengan disiplin ketat, masalah kemacetan di Jabodetabek akan sedikit banyak terselesaikan.

Maka diperkirakan jumlah orang di Jabodetabek yang beraktivitas di DKI Jakarta yang menggunakan transportasi massal akan terus meningkat pada 2019 (3,1 juta), pada 2022 (3,5 juta), dan pada 2030 diprediksi akan mencapai berkisar 4,5 seiring menurunnya masyarakat di Jabodetabak menggunakan kendaraan pribadi.

Dengan berkurangnya mobilitas kendaraan pribadi, selain mengurangi kemacetan di Jabodetabek dan juga akan mengurangi polusi akibat gas buang CO2, sebagai faktor terbesar penyumbang terbentuknya Gas Rumah Kaca (GRK) yang menunjang target NDC (Nationally Determined Contrinution) menurunkan polusi GRK Nasional sebesar 29 persen.

Selain itu, upaya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi setidaknya akan mengurangi pemborosan penggunaan BBM yang setiap tahunnya untuk Jakarta mencapai Rp 100 triliun dan untuk Jabodetabek berkisar Rp 150 triliun, penggunaan energi BBM dapat menghemat sekitar 30% nya.

Tentunya, target itu bisa dicapai dengan dibarengi oleh upaya pemerintah dan stakeholder di sektor transportasi untuk mensosialisasikan gerakan masyarakat di Jabodetabek untuk beralih menggunakan mada transportasi massal. Sehingga upaya memenuhi target visi Indonesia emas 2045 akan tercapai. (AS/IS/RY/HG)