Waktu seperti berlari, sehingga tak terasa program Solo Car Free Day (SCFD) atau hari bebas kendaraan bermotor yang diselenggarakan Pemerintah Kota Surakarta (Solo) telah berjalan satu tahun pada bulan Mei 2011 lalu. Program yang semula menuai kontroversi, silang-pendapat, respon negatif dari beberapa pihak di Kota Solo itu akhirnya dapat berjalan dengan harmoni. Setiap hari minggu mulai jam 05.00 WIB – 09.00 WIB kini di sepanjang Jl. Slamet Riyadi jalan protokol yang membelah Kota Solo bebas dari kendaraan bermotor. Sebagai gantinya warga kota solo “tumplek blek” memenuhi jalanan dengan berbagai aktifitas mulai dari olahraga bersepeda, jogging ataupun  sekedar jalan kaki menikmati udara bebas polusi asap kendaraan bermotor.

Tim redaksi pemberitaan www.dephub.go.id yang mengunjungi Kota Solo pada minggu pagi 19/6/2011 lalu, sempat menikmati langsung suasana Solo Car Free Day. Tidak sekedar bisa sejenak menikmati suasana pusat Kota Solo yang bebas asap kendaraan bermotor ataupun olah raga pagi, namun juga bisa menikmati segala macam “hiruk pikuk” berbagai kegiatan yang ada di dalamnya. Yah...ternyata tidak butuh waktu panjang buat masyarakat Kota Solo untuk memanfaatkan program SCFD ini sebagai ajang aktualisasi diri. Jalan Protokol Slamet Riyadi seperti menjadi etalase unjuk gigi kreatifitas masyarakat Kota Solo.

Ada sekelompok anak-anak muda yang bermain musik kontemporer “acapela” menggabungkan antara gamelan dengan perangkat musik tabuh moderen. Kemampuan mereka memainkan musik paduan itu disertai lirik lagu bahasa jawa yang menggelitik, mau ngga mau menarik perhatian orang yang lalu lalang di sekitarnya. Satu dua orang turun dari sepedanya..., beberapa orang pejalan kaki dan mereka yang sedang asyik jogging menghentikan pula langkahnya untuk melihat pertunjukan itu. Dalam hitungan menit sudah begitu banyak orang mengelilingi anak-anak muda yang sedang bermusik itu, membuat mereka semakin bersemangat bahkan beberapa penonton mulai berjoget .... Kira-kira lima belas menit waktu lewat anak-anak muda tersebut mengakhiri pertunjukan itu seraya mengucapkan terima kasih dan salam kepada para penonton. Tak lupa di akhir pertunjukan itu mereke memperkenalkan diri sebagai kelompok ekstra kurikuler dari sebuah SMK Swasta di Kota Solo, dan bla..bla..bla beberapa kalimat tentang profile dan prestasi sekolah mereka terucap dari mulut mulut mereka sedikit berkesan promosi tetapi para penonton pun bertepuk tangan... Ha ha ha ha....sebuah cara berpromosi yang cukup smooth dan mengundang simpati...

Beberapa langkah beranjak dari tontonan musik itu ada sekelompok orang berkerumun, di tengahnya ada beberapa sepeda diparkir.Ah...ternyata sebuah kelompok pesepeda... nampaknya para anggotanya sedang saling tukar pengalaman dan informasi soal hobby mereka. Salah satu orang bercerita tentang pelek sepeda sport yang baru saja dia beli dan dia pasang di sepedanya. Dengan penuh semangat dia menjelaskan keistimewaan pelek sepeda itu seraya mempersilahkan teman-temannya untuk mencobanya langsung. Makin banyak orang berkerumun di situ tidak hanya anggota kelompok itu, tapi para pesepeda lain dan orang yang lalu lalang di situ ikut bergabung. Di sela-sela kerumunan itu tampak seseorang membagikan kartu nama kepada para anggota klub pesepeda itu dan juga beberapa orang lainnya. Ternyata pembagi kartu nama itu adalah vendor pemasok perlengkapan sepeda...ha ha ha...olahraga, rekreasi, sekaligus bisnis.....!!!!

Hampir satu jam lebih berlalu, penulis menikmati suasana Solo Car Free Day menelusuri Jalan Slamet Riyadi dari arah timur mulai pertigaan Jl. Imam Bonjol ke arah barat hingga mendekati area di depan THR Sriwedari. Panas matahari pagi Kota Solo terasa semakin menyengat, sambil berjalan kembali ke arah timur penulis mecoba berdamai dengan perut yang mulai keroncongan, mampir ke penjual bubur kacang hijau yang mangkal di sudut antara Jalan Ahmad Dahlan dan Jalan Slamet Riyadi. Belum sepenuhnya pantat menyentuh kursi plastik di depan grobag kacang hijau itu, penjual bubur sudah mendahului dengan sapaan, “wah nuwun sewu pak sampun telas” (Wah mohon maaf pak sudah habis). O la la la...padahal waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi kurang beberapa menit, sementara car free day masih berlangsung hingga satu jam lagi ( selesai jam 09.00 WIB).

Terpaksalah untuk meredakan orkes keroncongan di dalam perut, amunisi berganti dengan  jenis kuliner lain khas solo yaitu tahu kupat, yang ada di sebelah bubur kacang hijau itu. Sambil menikmati tahu kupat, penulis mendengarkan tutur cerita si penjual bubur kacang hijau laris manis yang akrab dipanggil Rojak oleh teman-temannya itu. Rojak dengan wajah sumringah bercerita bahwa semenjak ada Solo Car Free Day dirinya selalu mendapatkan rejeki nomplok setiap minggunya. Hari itu misalnya dia memperoleh pendapatan kotor 500 ribu rupiah, yang apabila dikurangi biaya produksi termasuk ongkos asistennya dan lain lain dia masih untung bersih sekitar 250 ribuan. Penghasilan itu empat kali lipat penghasilan hari hari biasa, dan pada hari-hari biasa juga butuh waktu lebih lama untuk menghabiskan dagangannya. “Kulo setuju sanget kalian pak wali, niki kathah manfaate,” (Saya setuju dengan kebijakan Pak Wali <soal car free day-red>, ini banyak manfaatnya, kata Rojak.

Petualangan singkat beberapa jam di Jalan Slamet Riyadi itu telah menunjukkan betapa sebuah kebijakan Solo Car Free Day (SCFD) yang semula lebih banyak bermuatan soal transportasi ramah lingkungan yaitu merintis upaya untuk mengurangi polusi asap kendaraan bermotor, ternyata telah membuahkan dampak positif yang tidak kecil artinya pada sektor kehidupan lain. Selain bertambahnya ruang bagi masyarakat Kota Solo untuk berolah raga pagi dan berekreasi, dampak lain yang nyata-nyata terlihat adalah semakin terdorongnya potensi, kreatifitas dan inovasi masyarakat Kota Solo di bidang seni, budaya. Bahkan lebih dari itu kebijakan ini juga memiliki dampak positif bagi pelaku ekonomi lemah yang tidak kecil artinya.

Dengan bahasa lain kebijakan SCFD ini telah membuktikan jalan yang pada hakekatnya adalah prasarana transportasi telah dapat berperan lebih guna menciptakan kota yang lebih humanis. Jalan yang semata-mata sebenarnya hanya sebuah prasarana transportasi telah berhasil dikondisikan agar mampu memberikan ruang lebih bagi warga untuk memenuhi kebutuhan lainnya selain transportasi. Dan pada kenyataannya sisi-sisi lain dari kehidupan warga Kota Solo mulai tumbuh menjadi semakin dinamis dan produktif melalui proses interaksi yang manusiawi dan beradab di sepanjang Jalan Slamet Riyadi setiap minggunya. Jalan tidak lagi membelenggu warga kotanya untuk menjadi sosok yang hiruk pikuk tapi miskin interaksi sosial yang sehat seperti sering terjadi di kota-kota besar seperti di Jakarta.

Bisa jadi di waktu mendatang masyarakat Kota Solo akan semakin merasa memiliki SCFD, meski tentunya pasti masih ada pihak-pihak tidak nyaman dengan kebijakan SCFD ini. Penulis menyaksikan sendiri ketika sebuah mobil nekat masuk dan lewat di Jalan Slamet Riyadi setengah jam sebelum waktu SCFD selesai, masyarakat yang ada sekitarnya spontan menghalau, menasehati  dan menuntun pengemudi mobil agar keluar dari wilayah SCFD. Begitu pula warga yang naik sepeda motor juga menuruti perintah untuk mematikan mesin ketika mereka harus menyeberang Jalan Slamet Riyadi untuk menjangkau jalan di utara atau di selatan Jalan Slamet Riyadi, yang tidak termasuk area SCFD.

Dinas Perhubungan Kota Solo yang menjadi instansi koordinator pelaksana SCFD melalui Kepala Dinasnya yaitu Yosca Herman Soedrajat pernah menyatakan bahwa kebijakan SCFD ini diharapkan juga mampu memberikan pelajaran bagi masyarakat untuk mulai mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Ketika pernyataan itu diucapkan setahun lalu mengawali pemberlakuan SCFD terasa mengandung optimisme berlebihan. Namun saat ini mungkin hal itu menjadi masuk akal, walaupun mungkin masih perlu upaya yang lebih giat lagi. Menurut pemgamatan penulis rasa memiliki yang mulai tumbuh di kalangan masyarakat Solo terhadap pelaksanaan SCFD ini dapat menjadi entry point untuk penerapan kebijakan transportasi perkotaan yang lain di Kota Solo. Pelajaran yang dapat dipetik di sini adalah manakala masyarakat dapat benar-benar merasakan manfaat sebuah kebijakan untuk kepentingan bersama, dan masyarakat dapat terlibat langsung merasakan manfaat itu, masyarakat akan dengan sendiri berpartisipasi dan merasa memiliki terhadap keberhasilan pelaksanaan kebijakan tersebut.

Kota Solo masih memiliki serangkaian kebijakan transportasi perkotaan yang akan diimplementasikan beberapa tahun ke depan. Kebijakan tersebut berkisar tentang bagaimana mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan memasyarakatkan penggunaan transportasi massal. Tantangan yang dihadapi tidak kecil dan justru bukan pada aspek fisik bagaimana menyediakan sarana dan prasarananya. Tantangan terbesar justru terletak pada permasalahan sosialnya...sejauhmanakah masyarakat Solo mau menerima kebijakan ini dan berpartisipasi agar kebijakan ini dapat terealisasi dengan baik.

Waktu saat itu menunjukkan jam sembilan kurang lima belas menit, penulis bersama dengan warga Kota Solo lainnya mulai beranjak meninggalkan area Jalan Slamet Riyadi. Panas musim kemarau yang mulai terasa terik dan menyengat di kulit tidak menyisakan wajah kelu bagi warga Kota Solo. Keringat yang menetes di wajah-wajah sumringah seperti memancarkan rasa optimisme untuk selalu berubah lebih baik lagi.....SOLO KAMU BISA...!!! (BRD)