(Jakarta, 29/4/2010) Kepala Badan Litbang Perhubungan Ir. L. Denny Siahaan, menyatakan sejauh ini keberadaan Dry Port di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal, padahal sistem Dry Port yang didukung angkutan barang melalui kereta api apabila terkelola dengan baik akan mampu memperkuat sistem logistik nasional. Pernyataan tersebut disampaikan Denny Siahaan manakala membuka acara Round Table Discussion (RTD) dengan tema “Peranan Transportasi Kereta Api Barang dari Dry Port/Kawasan Industri Menuju ke Pelabuhan di Pulau Jawa dalam Rangka Menunjang Sistem Logistik Nasional” di ruang rapat kantor Badan Litbang Jakarta, Kamis (29/4).

Denny menjelaskan bahwa saat ini Indonesia mempunyai 5 dry port, yaitu Terminal Peti Kemas (TPK) Tebing Tinggi di Sumut, TPK Kertapati di SUmsel, TPK Gedebage di Jabar, TPK Solo Jebres di Jateng, dan TPK Rambipuji di Jatim. Meskipun demikian, yang dapat beroperasi adalah TKP Gedebage dengan kondisi yang mengalami penurunan.   Salah satu penyebabnya menurut Denny menjelaskan karena kereta api kalah bersaing dengan moda angkutan jalan. Lebih lanjut menurut Denny, Badan Litbang Perhubungan terkait dengan pola pergerakan peti kemas telah melakukan observasi  3 lokasi obyek pengamatan (Tanjung Priok, Jakarta; Tanjung Emas, Semarang; dan Tanjung Perak, Surabaya dengan 209 sampel. Terkait dengan jarak perjalanan rata-rata diperoleh hasil jarak perjalanan terbesar didominasi oleh jarak perjalanan dibawah 50 km dengan prosentase 50%, 51-100 km sebesar 35%, 101-150 km sebesar 7%, 151-200 dan 201-250 km masing-masing sebesar 4%. Denny menjelaskan, apabila keunggulan kereta api adalah dalam jarak di atas 200 km, berarti peti kemas belum tergarap oleh kereta api.

Untuk perbandingan  total biaya angkut petikemas dari dry port Gedebage menuju Pelabuhan Tanjung Priok melalui moda angkutan jalan dengan kereta api diperoleh hasil total biaya angkut peti kemas ukuran 20 feet melalui angkutan jalan lebih mahal sebesar Rp. 550.000,00 dibandingkan dengan menggunakan kereta api. Sedangkan untuk ukuran 40 feet,melalui angkutan  jalan lebih murah sebesar Rp. 400.000,00 dibandingkan dengan menggunakan kereta api. Pada kenyataannya, menurut Denny, penggunaan kereta api sebenarnya lebih menguntungkan daripada angkutan jalan. “Keuntungannya dari segi cost dan lingkungan. Kereta api tidak mengeluarkan emisi yang berbahaya dibandingkan dengan angkutan jalan,” jelas Denny.

Dalam diskusinya, para peserta membahas tentang permasalahan dry port di Indonesia, keuntungan penggunaan dry port, serta saran-saran dari para praktisi untuk dibentuknya suatu sistem yang bersinergi dalam  proses transportasi barang yang tidak mempersulit dunia usaha. Pada akhir diskusi, para peserta diskusi  sepakat  perlu adanya sistem transportasi antarmoda yang terpadu dan bersinergi guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam rangka menjamin kelancaran arus barang dari dry port menuju kawasan industri terutama untuk saat ini di Pulau Jawa dan selanjutnya akan dibahas lagi secara lebih mendalam.
 
Dalam RTD yang dimoderatori oleh Nurjanah, Kapuslitbang Manajemen Transportasi Multimoda ini, sebagai pembicara adalah Nanang Ariyantono (Peneliti Senior Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda), Budi Noviantoro dan Isna Jaya (PT KA), dan Candra Irawan (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan). Pembahas dalam RTD ini adalah perwakilan dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Gabungan Forwarder dan Ekspedisi INDONESIA (GAFEKSI) atau INFA (Indonesian Forwarders Association), Dinas Perhubungan Semarang, dan Jababeka Cikarang Dry Port. Selain itu, turut hadir pula perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Terminal Peti Kemas Bandung, dan jajaran Kementerian Perhubungan lainnya. (RY)