(Surabaya, 28/8/2013) Pemerintah (Kementerian Perhubungan) saat ini giat mendorong pemerintah daerah dan pihak swasta dalam membangun dan mengembangkan bandar udara di daerah-daerah. Kendati demikian, pembangunan dan pengusahaan bandar udara oleh pemeintah daerah dan swasta harus tetap memenuhi peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal tersebut disampaikan Kepala Bagian Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Israful Hayat saat menyampaikan paparan bertema "Kebijakan dan Implementasi Regulasi Pembangunan dan Pengembangan Bandar Udara Dalam Perspektif Otonomi Daerah" dalam Rapat Koordinasi Teknis Perundang - Undangan Bidang Transportasi Laut dan Udara di Surabaya, Rabu (28/8).

Dasar hukum pembangunan dan pengembangan bandar udara di Indonesia terdapat dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, PP No. 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan, PP No. 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, dan yang terbaru Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 69 Tahun 2013 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional. Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 69 Tahun 2013 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional diantaranya memuat rencana bandar udara saat ini dan bandar udara yang telah ditetapkan sebagai lokasi bandar udara untuk 25 tahun kedepan sesuai peran, fungsi, hierarki dan klasifikasi bandar udara; rencana lokasi bandar udara baru yang belum memiliki penetapan lokasi akan tetapi telah ditetapkan titik-titik lokasinya. “KM 69 Tahun 2013 juga memuat kebijakan nasional terhadap penetapan bandar udara diluar poin diatas yang diprakarsai oleh pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan badan usaha swasta,” lanjut Israful.

Ia menambahkan dalam  penyelenggaraan bandar udara,  pemerintah daerah  berperan dalam menetapkan rencana tata ruang kawasan di sekitar bandara dengan memperhaikan rencana induk bandar udara dan rencana nasional bandar udara serta menjamin aksesibilitas dan pengembangan bandara. “Pengembangan bandar udara yang telah beroperasi dilaksanakan sesuai Rencana Induk Bandar Udara yang telah ditetapkan dalam penetapan lokasi kecuali terdapat perubahan lingkungan strategis, peningkatan permintaan kebutuhan angkutan udara, dan peningkatan kapasitas untuk pelayanan, “tambah Israful.

Israful juga menjelaskan, dalam PP No. 40 Tahun 2012 menyebutkan penggunaan APBN tidak boleh diperuntukkan bagi BUMN. “Jiwa PP No. 40 tahun 2012 medorong agar BUMN operator kreatif mencari investor dalam pengembangan bandara sehingga penyelenggaraan tidak hanya mengandalkan APBN dan APBD. Sebagai contoh Bandara Buol yang ingin landasannya diperpanjang dapat bekerjasama dengan swasta karena terdapat perusahaan pertambangan, " jelasnya. Pembangunan dan pengembangan bandar udara yang didanai APBN diprioritaskan untuk bandara yang berada dalam wilayah terisolasi dan perbatasan NKRI, daerah rawan bencana, dan yang belum diusahakan dan diselenggarakan Unit Penyeleanggara Bandar Udara Pemerintah. 

Proporsi pendanaan bersumber dari APBN dan APBD ditentukan pada kontribusi bandar udara pada penerbangan secara nasional. Kerjasama pembangunan dan pengembangan bandara melalui APBN dan APBD berdasarkan perjanjian kerjasama paling sedikit mengatur status aset, biaya yang timbul setelah pembangunan, dan pendapatan dari aset yang dibangun.  Unit Penyelenggara Bandar udara (UPBU) dan Badan Usaha Bandar Udara dapat melakukan kerjasama dengan Badan Hukum Indonesia untuk pembangunan dan/atau pengembangan bandara. " Pada UPBU milik Pemerintah Daerah APBN diharapkan hanya digunakan untuk fasilitas sisi udara. Selain itu apabila akan mengubah status sebagai pemrakarsa harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah," tutup Israful. (ARI)