(Jakarta, 9/11/2011) Peran Mahkamah Pelayaran  sebagai lembaga yang  menjalankan tugas melakukan pemeriksaan lanjutan (persidangan) pada nakhoda kapal yang mengalami kecelakaan perlu dioptimalisasi, caranya dengan membangun kesamaan persepsi dan adanya regulasi yang dapat meningkatkan sistem pemeriksaan lanjutan.

Ketua Mahkamah Pelayaran, Boedhi Setiadjit menyatakan, peran Mahkamah Pelayaran dalam menjalankan tugas lanjutan atas kecelakaan kapal idealnya mempunyai kewenangan yang luas mencakup menghadirkan semua pihak terkait dengan pengoperasian kapal  dan adanya pelimpahan  pemeriksaan pendahuluan secara cepat.

“Tujuannya agar pemeriksaan perkara bisa berlangsung secara cepat, dan ditemukan sebab-sebab terjadinya kecelakaan yang tepat  untuk ditetapkan putusan agar tidak terulang kecelakaan  tersebut. Jika dari hasil pemeriksaan lanjutan itu ditemukan sebab-sebab lain menyangkut unsur  pidana, maka  bisa ditindaklanjuti melalui proses peradilan  umum,” ungkap Boedhi Setiadjit kepada wartawan ketika menyaksikan bersama pemeriksaan lanjutan perkara tenggelamnya KM Windu Karsa di Sulawesi Tenggara melalui siaran jarak jauh di kantor Kementerian Perhubungan, Selasa (8/11/2011).

Kesamaan persepsi dikatakan karena pemeriksaan lanjutan di Mahkamah Pelayaran ,  belum menjadi yang utama untuk pemeriksaan lanjutan suatu kecelakaan kapal. Sebab pemeriksaan awal bisa berlangsung di instansi lain yang  juga mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan, sehingga  kejadian kecelakaan kapal bisa lebih dahulu ke  persidangan umum.

“Jadi saya usul adanya kesepakatan bersama (SKB) dari instansi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal, agar pemeriksaan kecelakaan kapal bisa didahului di Mahkamah Pelayaran dalam rangka menemukan sebab-sebab kecelakaan kapal,  setelah itu bisa dilakukan pemeriksaan lain  untuk menemukan sebab-sebab lainnya,” ungkap Boedi Setiadjid.

Dia menjelaskan SKB itu intinya adalah adanya kerjasama dua belah pihak dalam menangani perkara kecelakaan,  sehingga kewenangan masing-masing pihak saling mendukung dan beriringan.

Dicontohkannya, jika seorang nakhoda yang kapalnya mengalami kecelakaan, dilakukan pemeriksaan menyangkut unsur pidana terlebih dahulu, dikhwatirkan akan terjadi putusan berbeda dengan putusan di Mahkamah Pelayaran. Sebab pemeriksaan lanjutan pada perkara kecelakaan di Mahkamah Pelayaran, dilakukan menyeluruh menyangkut keselamatan pelayaran, mulai dari kapal dibangun, dioperasikan, di pelabuhan sampai pada saat terjadinya kecelakaan. Para saksi pun mulai dari pemilik kapal, awak kapal, pejabat pemerintah terkait keselamatan pelayaran dan keadaan alam saat itu.

“Sehingga suatu kecelakaan bisa terjadi karena banyak faktor yang bisa membuat nakhoda atau perwira kapal tidak bersalah. Jika sudah dilakukan persidangan di peradilan umum terlebih dahulu,  dan putusannya bersalah,  bisa saja di Mahkamah Pelayaran  berdasarkan pemeriksaan tidak bersalah. Ini yang dikhwatirkan bisa terjadi,” ungkap Boedhi Setiadjit.
Sementara itu menyangkut pelimpahan pemeriksaan secara cepat, Boedhi juga menyatakan, pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan pihak syahbandar sampai saat ini belum langsung diserahkan ke Mahkamah Pelayaran, melainkan ke Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen hubla). Di Ditjen Hubla,   berdasarkan  pemeriksaannya,  peristiwa kecelakaan kapal bisa dilanjutkan ke Mahkamah pelayaran atau tidak.

“Jika dari syahbandar bisa langsung dilimpahkan ke Mahkamah Pelayaran akan lebih cepat proses pemeriksaan lanjutannya di Mahkamah Pelayaran,” kata Boedhi Setiadjit.

Sejak tahun 2001-2005 Mahkamah Pelayaran sudah memutus perkara kecelakaan sebanyak 155 perkara. Di tahun 2005 -2010 memutus sebanyak 187 perkara. Tahun 2011  Mahkamah Pelayaran sudah menerima perkara sebanyak 19 perkara, empat diantaranya sudah diputus.

“Sebagian besar putusan atas pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal , nahkoda bersalah,” ungkap mantan Direktur Navigasi, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut itu.

Mahkamah Pelayaran  sudah ada di Indonesia, pada 27 April tahun 1934 ketika masih berada dalam masa pendudukan Belanda. Ketika Indonesia merdeka, Mahkamah Pelayaran  tetap dipertahankan.  Organisasi dan Tata kerja Mahkamah Pelayaran  diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 15 tahun 1999 sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal. Berdasarkan PP No 1 Tahun 1998 pasal 20 Mahkamah Pelayaran merupakan lembaga yang berada  dibawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan.

Berdasarkan UU No. 17 tahun 2008    tentang Pelayaran, kebaradaan Mahkamah Pelayaran tetap  di bawah Kementerian Perhubungan yang memiliki fungsi  melaksanakan pemeriksaan   lanjutan atas kecelakaan kapal dan menegakkan kode etik profesi dan kompetensi nakhoda atau perwira kapal setelah dilakukan pemeriksaan oleh syahbandar.

Sebagai lembaga yang menyidangkan nakhoda atau perwira kapal dari segi profesi, maka putusannya adalah pencabutan sementara sertifikat keahlian dan komptensi para nakhoda atau perwira kapal yang dinyatakan bersalah. Lama pencabutan sementara sertifikat profesi pelaut itu berdasarkan kewenangannya paling lama 2 tahun.  (AB)