Isu terkait revisi Keputusan Ditjen Perhubungan Udara Nomor 47 Tahun 2010 tentang pengalihan pemeriksaan kargo di bandara kepada regulated agent (RA) oleh Kementerian Perhubungan kembali mendapat porsi pemberitaan media pekan ini, yang sebenarnya telah mulai naik ke permukaan sejak minggu lalu. Topik ini kembali mengemuka seiring polemik yang mencuat pasca diterapkannya kebijakan baru tersebut. Kalangan pelaku usaha, khususnya yang bergerak dalam bidang jasa ekspres dan forwarder mendesak pemerintah menunda pemberlakuan wajib pemeriksaan kargo dan pos udara melalui agen inspeksi yang dijadwalkan mulai 16 Mei 2011.

Bahkan, pihak Asosiasi Penerbangan Nasional Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia telah meminta penundaan implementasi agen yang memastikan keamanan barang kargo (regulated agent), karena dikhawatirkan akan terjadi stagnasi ekspor lewat kargo udara. Isu ini tercatat dilansir oleh enam media, yakni Bisnis Indonesia, Investor Daily, Kompas, Kontan, Seputar Indonesia, dan Suara Karya. Sementara Bisnis Indonesia menjadi media yang paling intens melansir isu tersebut dengan menurunkan 4 artikel pemberitaan. Mayoritas media lebih cenderung menggunakan sudut pandang kalangan pelaku usaha yang meragukan efektifitas kebijakan baru tersebut karena berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Para pengusaha juga meragukan kebijakan ini dari sisi keamanan serta kekhawatiran terjadinya keterlambatan pengiriman barang. Hal tersebut menyebabkan mayoritas persepsi media menjadi cenderung negatif. Media dominan mengutip spokesperson dari kalangan pelaku usaha, diantaranya Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) Syarifuddin dan Sekjen INACA Tengku Burhanuddin. Kedua opinion leader diatas cenderung mengeluarkan pernyataan yang berkonotasi negatif, khususnya terkait permintaan penundaan dan peninjauan kembali penerapan kebijakan tersebut. Pernyataan Tengku Burhanuddin cukup intens dikutip oleh media dalam hal menanggapi keputusan pihak Kemenhub terkait penunjukkan langsung tiga perusahaan sebagai RA seperti dilansir oleh Kontan (13/05).

Penunjukan secara sepihak tersebut dinilai janggal dan tidak transparan, sementara ketiga perusahaan yang ditunjuk, yakni PT Duta Angkasa Prima Kargo, PT Fajar Anugerah Sejahtera, serta PT Gita Aviantrans masih dianggap belum memiliki track record yang memadai. Persoalan semakin pelik ketika ketiga pengelola kargo yang baru ditunjuk menaikkan tarif jasa yang mencapai hampir tiga kali lipat dari besaran tarif sebelumnya. Sedangkan Direktur Eksekutif Asperindo Syarifuddin menyatakan, bahwa pihaknya juga telah meminta Kemenhub melalui Ditjen Perhubungan Udara untuk menunda dan meninjau kembali penerapan RA.

Kedepan isu ini berpotensi akan kembali menguat dan mendapatkan perhatian opinion leaders lain, khususnya yang menyangkut persoalan teknis implementasi kebijakan di lapangan dan juga keterlibatan pihak pemangku kepentingan terkait lainnya. Mencermati dinamika isu yang berkembang, maka apresiasi dan masukan yang disampaikan sejumlah opinion leader hendaknya menjadi koreksi atas kebijakan yang akan dijalankan. Koordinasi dengan pihak asosiasi terkait perlu dioptimalkan, sehingga implementasi kebijakan tersebut dapat berjalan dengan baik. Disisi lain proses edukasi dan sosialisasi kepada publik perlu terus dilakukan secara kontinyu. Bersamaan dengan itu proses monitoring dan evaluasi terhadap agen inspeksi yang telah ditunjuk juga perlu selalu dipantau. (JAB)