Saat berada di Pulau Sumbawa, tidak lengkap rasanya saat tidak berkunjung ke Kota Bima. Di masa modern, Bima menjadi wilayah perekonomian yang besar di Sumbawa Timur dengan adanya pendatang dari berbagai daerah di Indonesia, terutama Jawa, Bali dan Lombok. Hal ini dikarenakan, dulunya Bima adalah sebuah kota pelabuhan yang menyambung dengan pelabuhan lainnya di Indonesia bagian Timur, seperti Makassar, Ternate, dan juga pelabuhan di Lombok, Bali, dan Jawa Timur.

Adapun batas-batas wilayah di Kabupaten Bima, antara lain di bagian utara yakni Kecamatan Ambalawi dan Kabupaten Bima. Bagian selatan terdapat Kecamatan Palibelo dan Kabupaten Bima. Di bagian barat terdapat Teluk Bima serta di bagian timur terdapat Kecamatan Wawo dan Kabupaten Bima.

Untuk menuju ke Bima, Anda bisa melalui jalur udara dan melakukan transit di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima. Dari bandara, Anda bisa melanjutkan perjalanan darat menggunakan bus umum atau dengan taksi.

Transportasi Umum di Bima

Dalam mendukung konektivitas transportasi di Bima, terdapat tiga moda transportasi yang bisa kita gunakan yakni transportasi darat, laut dan udara.

Terdapat tiga buah terminal di kota Bima, yaitu Terminal Dara, Terminal Kumbe, dan Terminal Jatibaru. Terminal Dara berfungsi untuk melayani transportasi antar kota dan antar provinsi. Terminal Kumbe melayani transportasi untuk Kota Bima bagian timur, dengan tujuan utama Sape dan sekitarnya. Sedangkan Terminal Jatibaru untuk melayani transportasi Kota Bima bagian utara, dengan tujuan Wera dan sekitarnya. Sarana transportasi darat tersebut melayani angkutan kota di Pulau Sumbawa.

Selain angkutan darat, transportasi laut juga memiliki peranan penting sebagai penggerak perekonomian Kota Bima dan sekitarnya. Salah satu pelabuhan yang berada di Bima yakni Pelabuhan Bima yang dikelola oleh Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas IV bersama dengan PT Pelindo III. Pelabuhan ini menghubungkan kawasan timur Indonesia dengan rute Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Dari sektor udara, penerbangan di Bima dilayani oleh Bandar Udara Sultan Muhammad Salahuddin atau biasa disebut Bandara Bima (BMU). BMU merupakan sebuah bandara kecil dekat Kota Bima yang namanya berasal dari Sultan terakhir Kerajaan Bima dan terletak di Palibelo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Sebagai satu-satunya fasilitas transportasi udara di Bima, frekuensi penumpang di bandara tersebut semakin hari makin meningkat.

Peningkatan jumlah penumpang tersebut dikarenakan BMU merupakan pintu gerbang bagi tiga wilayah di Nusa Tenggara Barat yakni Kabupaten Bima, Kotamadya Bima dan Kabupaten Dompu.

Terdapat lokasi wisata yang membuat wisatawan semakin tertarik untuk datang ke Bima. Sebagai contoh, wisata pantai yang dapat kita temui dekat dari bandara yakni Pantai Lawata. Pantai tersebut berada di sepanjang jalan di Kota Bima yang dapat kita nikmati keindahannya saat pasang yakni sore hingga pagi hari dan mulai surut pada siang hari. Selain itu, ketika Anda melintasi kota Bima, terdapat rumah ibadah dengan desain arsitektur yang menarik perhatian dari kejauhan. Bangunan tersebut merupakan Masjid Amahi Bima yang dikenal sebagai masjid terapung di atas laut dan berada di kawasan Pantai Amahi.

Tantangan Transportasi Udara

Sebagai satu-satunya akses transportasi udara di Bima, BMU acap kali mendapatkan kesulitan ketika harus berhadapan dengan masyarakat terkait pembebasan lahan.

Tahun 2019 ini, Bandara Bima akan kembali dibenahi secara bertahap baik itu peningkatan sarana prasarana dan sejumlah fasilitas penunjang yang dibutuhkan, mengingat frekuensi penerbangan dari dan ke Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima cukup ramai yakni mencapai ratusan orang setiap harinya.

Rencananya bandara ini akan memperluas landasan pacunya menjadi 2.200 meter x 30 meter dari sebelumnya yang hanya sepanjang 1.650 meter x 30 meter di atas permukaan tanah agar bisa didarati oleh pesawat jenis Boeing. Selain perpanjangan runway, bandara BMU juga telah merencanakan pembangunan terminal baru. Hal ini untuk mempermudah akses penumpang saat menggunakan transportasi udara.

Maka dari itu, penting bagi bandara sebagai akses sektor udara untuk dapat memaksimalkan pengangkutan penumpang setiap harinya. Selama ini, Bandara Salahuddin Bima melayani sembilan penerbangan yang dilakukan oleh Garuda Indonesia, Wings Air dan Nam Air. Rute maskapai ini antara lain ke Lombok, Bali dan Makassar.

“Salah satu yang menjadi kendala kami dalam mengoperasikan bandara ini adalah sulitnya meminta lahan kepada masyarakat yang akan digunakan untuk pembangunan perluasan runway dan terminal bandara. Sehingga kami selalu melibatkan pemerintah daerah setempat untuk melakukan negosiasi kepada masyarakat,” ucap Kepala Seksi Pelayanan dan Kerjasama, UPBU Sultan Muhammad Salahuddin Bima, Erlangga.

Selain masalah perluasan lahan, terhitung sejak tanggal 1 September 2019, salah satu maskapai yakni Garuda Indonesia memutuskan untuk hengkang dari bandara ini. Salah satu alasan berhentinya operasional penerbangan Garuda Indonesia di Bima adalah karena maskapai tersebut mengalami kerugian dan menurunnya jumlah penumpang.

Hal ini membuat pihak operasional bandara harus memutar otak untuk tetap meramaikan penerbangan dari dan menuju Bima. Sehingga diharapkan, pembebasan lahan yang dilakukan untuk perluasan runway dan pembangunan terminal dapat menarik minat maskapai lainnya untuk singgah di Bandara Bima.

“Setelah perpanjangan landasan pacu dan pembangunan terminal rampung, diharapkan lebih banyak lagi maskapai yang tertarik untuk bekerjasama dengan kami. Bahkan kami sangat mengharapkan agar penerbangan internasional dapat dilakukan,” ungkap Erlangga. (SR/HG/BW)