(Jogjakarta, 30/08/09) Menyusul kecelakaan karamnya dua kapal motor di perairan Selat Badung, Bali, dan di perairan Sungai Barito, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Departemen Perhubungan akan mengevaluasi prosedur penerbitan Surat Perintah Berlayar (SPB) kapal di daearah-daerah.

Menurut Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, evaluasi penerbitan SPB terkait dua kecelakaan terakhir tersebut perlu dilakukan. Mengingat, katanya, ditemukannya indikasi bahwa kecelakaan yang menyebabkan tewasnya belasan penumpang tersebut terjadi akibat kapal kelebihan muatan serta tidak sesuainya spesifikasi peruntukkan pelayaran kapal.

Menhub memaparkan, berlebihnya muatan, baik barang maupun penumpang diindikasikan menjadi penyebab dari karamnya Kapal Motor Sarimulya di Sungai Barito, Kalsel. Sementara ketidaksesuaiannya spesifikasi peruntukkan pelayaran diduga menjadi penyebab celakanya KM Putra Romo Rabu di Selat Badung, Bali.

”Kapal-kapal itu adalah kapal-kapal kayu yang peruntukannya hanya untuk berlayar di sungai, bukan di laut. Mereka boleh sedikit-sedikit keluar ke laut, tetapi SPB-nya hanya untuk sungai, bukan untuk berlayar penuh di laut,” jelas Menhub di sela kegiatan pemantauan persiapan angkutan Lebaran di Jogjakarta, Jawa Tengah, Minggu (30/8).

Dijelaskan Menhub, terkait hal itu, dirinya telah menginstruksikan Direktur Jenderal Perhubungan Laut untuk mengevaluasi kembali proses penerbitan SPB di daerah. Hal itu mengingat selain Departemen Perhubungan, otoritas penerbitan SPB untuk kapal-kapal di daerah juga dimiliki Dinas Perhubungan tingkat provinsi.

Mengacu pada kedua kecelakaan tersebut, dikhawatirkan penerbitan SPB tidak dilakukan oleh Dinas Perhubungan tingkat provinsi, melainkan oleh instansi perhubungan di tingkat yang lebih rendah seperti kecamatan, dll, tanpa mengindahkan unsur keselamatan dan keamanan maupun standar kelaikan kapal.

Menurut Menhub, belakangan memang masih kerap ditemukannya beberapa proses penerbitan SPB dilakukan oleh instansi perhubungan di tingkat-tingkat kecamatan. Hal itu terjadi akibat kendala jarak dan lokasi antara posisi kapal dan Dinas Perhubungan di tingkat provinsi yang jauh.

”Ini yang nanti akan kita lihat lagi. Saya sudah instruksikan Dirjen Perhubungan Laut untuk mengevaluasi kembali prosedur penerbitan SPB di daerah, untuk kita arahkan ke pemerintah provinsi. Di sisi lain, pengawasannya juga akan lebih kita tingkatkan agar tidak ada lagi SPB yang dikeluarkan selain Dinas Perhubungan provinsi,” jelas Menhub.

Menurut data pada manifes, jumlah penumpang Kapal Sarimulya yang karam di Sungai Barito pada Jumat (28/8) malam itu adalah 132 orang. Tetapi menurut informasi, saat kecelakaan terjadi, kapal yang juga mengangkut barang rumah tangga, sayur, serta ikan dan kebutuhan rumah tangga lainnya itu membawa lebih dari 150 orang penumpang. Bobot akibat muatan kapal yang berlebih inilah yang diduga kuat menjadi petaka pembawa maut bagi para penumpang kapal tersebut.

Sedangkan kecelakaan serupa yang menimpa Kapal Motor Putra Romo Rabu di Selat Badung, Bali, dua hari sebelumnya, Rabu (26/8), disinyalir kuat terjadi akibat kapal tersangkut di batu karang di dasar laut. Lambung kapal yang berbahan dasar kayu yang rusak membuat kapal tenggelam dan karam. Kapal ini juga diduga membawa muatan berlebih.

Menurut data manifes, kapal Putra Romo yang berangkat dari Pelabuhan Kusamba, Klungkung untuk tujuan Pulau Nusa Penida, berpenumpang 16 orang. Namun pada kenyataannya, penumpang yang berhasil diselamatkan mencapai lebih dari 16 orang. Jumlah tersebut belum termasuk 9 korban tewas. Bahkan menurut informasi, saat kecelakaan terjadi, kapal berukuran sedang itu juga mengangkut semen dan pasir dalam jumlah cukup banyak. (DIP)