(Jakarta, 02/08/10) Menteri Perhubungan Freddy Numberi menegaskan, permasalahan terkait pencemaran di Laut Timor bukanlah permasalahan antara Pemerintah Indonesia dengan Australia. Karena itu, Pemerintah Indonesia tidak akan menyoal Pemerintah Australia terkait pelaksanaan penuntutan ganti rugi.
 
”Yang akan kita tuntut ganti rugi bukan Pemerintah Australia, tetapi ’the polluter’, perusahaannya, yaitu PTTEP Australasia. Jadi, kita jangan kita membawa-bawa Pemerintah Australia. Tapi ini adalah tanggung jawab swasta. Pemerintah Australia juga  lakukan klaim yang sama dengan kita karena ikut dirugikan dalam pencemaran ini,” jelas Menhub Freddy, akhir pekan lalu.
 
Menhub menambahkan, terkait itu, Pemerintah Indonesia melalui Tim Nasional Penanggulangan Pencemaran Laut Timor yang diketuainya, telah melakukan kerja sama koordinasi dengan Pemerintah Australia. Salah satunya dalam melakukan verifikasi data dan pemetaan wilayah perairan masing-masing negara yang terkena cemaran minyak kilang Montara.
 
Disampaikan Menhub, Pemerintah Indonesia berdasar pada data-data yang telah dihimpun akan menyampaikan klaim ganti rugi jangka panjang terkait pencemaran Laut Timor kepada PTTEP Australasia, pemilik kilang Montara yang meledak di Blok West Atlas, 21 Agustus 2009. Alasannya, pencemaran tersebut tidak hanya menimbulkan dampak langsung terhadap ekosistem di perairan yang tercemar, tetapi juga memunculkan akibat jangka panjang bagi perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat yang mengandalkan pendapatan hidupnya dari laut.
 
”Tidak hanya dampak langsung, dampak tidak langsung jangka panjang juga harus kita hitung, terkait proses rehabilitasi yang bisa memakan waktu hingga bertahun tahun. Efek dominonya akan kita hitung semua,” papar Menhub. Terkait penghitungan imbas jangka panjang itu, Menhub mengakui adanya hambatan yang ditemui oleh timnya dala menyusun klaim.
 
Berbeda dengan pencemaran yang dilakukan oleh kapal, kata Menhub, penanganan ganti rugi akibat pencemaran langsung oleh kilang belum memiliki formula penghitungan yang pasti. Hal ini membuat proses penggantian kerugian membutuhkan waktu yang lebih panjang. Sehubungan dengan itu, Menhub menegaskan dalam pertemuan-pertemuan internasional mendatang, Pemerintah Indonesia akan menyinggung hal ini. ”Pengalaman kita dan Meksiko bisa dijadikan sebagai dasar,” ujarnya.
 
Dikatakan, dengan adanya penghitungan konversi kerugian terhadap imbas jangka panjang yang terjadi, sangat tidak mustahil Pemerintah Indonesia menuntut PTTEP Australasia dengan besaran klaim hingga mencapai Rp 1 triliun atau lebih. Di sisi lain, pihak manajemen PTTEP Australasia sudah menyatakan tidak menutup diri terhadap seberapa pun besar nilai kerusakan dan dampaknya yang akan diklaim. Namun, tegasnya, bukan berarti penuntutan bisa dilakukan dengan serta-merta.
 
”Kita akan berhati-hati dalam memberikan data-data dan model penghitungannya, demikian juga pemerintah Australia,” kata Menhub. Misalnya, menghitung detail efek terhadap masyarakat yang selama berprofesi sebagai nelayan sehingga mereka harus beralih profesi sampai mereka bisa kembali melaut, itu harus kita hitung. Apakah mereka harus bertani atau beternak di darat dan lain-lain. Lalu, bagaimana mengedukasinya sampai mereka bisa  benar-benar produktif, termasuk membantu mereka dalam hal pemasaran, dan lain-lain. Itu semua harus kita jelaskan dan dikonversi dalam bentuk uang dengan data-data yang valid,” paparnya.
 
Menurut Menhub, dalam kurun dua minggu ke depan, Tim akan bekerja keras melakukan seluruh penghitungan-penghitungan tersebut. ”Dijadwalkan, 27-28 Agustus nanti ada rapat berikut untuk pengajuan klaim dari kita untuk tuntutan ganti rugi,” jelasnya. (DIP)