JAKARTA – Digitalisasi dalam dunia transportasi tidak dapat dihindari. Karena sifat transportasi yang menghidupi dan melayani masyarakat, maka equality (kesetaraan) harus terjadi dalam dunia transportasi. Hal tersebut disampaikan Menhub saat ditemui di Jakarta pada Selasa (4/4).

Equality (kesetaraan) yang dimaksud adalah Pemerintah memberikan ruang yang sama kepada angkutan konvensional dan angkutan online untuk bersatu menyediakan layanan transportasi di Indonesia.

“Karena ada 2 (dua) yang punya kepentingan, supaya mereka eksis dua-duanya, kita ambil equality atau kesetaraan, di mana kami berikan ruang yang sama untuk tumbuh berkembang dan secara di dalamnya bagaimana mereka bersatu sehingga jadi satu pelayanan yang sama. Kalau berhasil, bisa jadi manfaat untuk semuanya,” papar Menhub.

Upaya Pemerintah untuk menciptakan suatu kesetaraan antara online dan konvensional diwujudkan dalam Permenhub No.32 Tahun 2016 yang direvisi menjadi Permenhub No.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Dari 11 poin aturan dalam Permenhub No.26 Tahun 2017 yang sudah berlaku mulai 1 April 2017, Menhub membahas 4 (empat) poin yang menurutnya sensitif, antara lain Pajak (sesuai usulan Ditjen Pajak), STNK atas nama Badan Hukum, Penetapan Tarif, dan Kuota (Pembatasan Jumlah Kendaraan).

“Ada 4 poin yang agak sensitif. Pertama, pajak. Kita akan berikan link field yang sama antara taksi konvensional yang sudah bayar pajak dan online yang belum bayar pajak, kami akan koordinasi dengan Ditjen pajak. Kedua, STNK. Kita punya waktu 3 bulan untuk bahas ini. Ketiga tarif. Kita sudah punya rumusannya, ada tarif biaya langsung, biaya tidak langsung dan keuntungan. Kita akan tentukan biaya-biaya pada taksi online dan konvensional. Kita akan tentukan berapa tarif batas bawahnya. Keempat kuota, kita ingin ada penggabungan online dan konvensional, Go-Car dan Blue Bird sudah bergabung. Kita dorong Grab dan Uber untuk gabung ajak beberapa pihak,” papar Menhub.

Pemberlakuan keempat poin di atas masih diberikan waktu transisi hingga 1 juli 2017.

Taksi, Angkot, Ojeg Jangan Hilang

Di tengah teknologi dalam dunia transportasi yang berkembang pesat, Menhub masih mempertahankan keberadaaan taksi, angkot dan ojeg.

“Yang namanya online itu suatu keniscayaan. IT (Information Technology/Teknologi Informasi) itu suatu kemajuan yang selayaknya kita ikut. Tapi temen-temen kita seperti taksi, angkot dan ojeg jangan sampai hilang. Kalau memungkinkan mereka bergabung dalam suatu komunitas,” jelas Menhub.

Menhub berharap kolaborasi angkutan online tidak hanya dilakukan dengan angkutan (taksi) konvensional, melainkan juga dapat dilakukan bersama angkot.

“Bagaimana angkutan online bisa kolaborasi dengan angkot, apakah kasih CSR, sehingga angkot ber-AC. Jadi mereka terlihat seperti satu bagian dan angkot memiliki level of service (level pelayanan) yang lebih baik,” jelas Menhub.

Selain itu, Menhub juga menjelaskan angkutan seperti ojeg yang sulit diatur secara langsung karena tidak ada dalam Undang-Undang. Padahal ojeg sudah menjadi fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

“Kita sedang mencarikan bagaimana yang terbaik. Apakah kita memberikan wewenang kepada Pemda atau kita yang mengatur. Kita akan mencari suatu formulasi untuk angkutan roda dua ini, kemudian formulasi itu akan kita bagikan kepada daerah,” jelas Menhub.

Lebih lanjut Menhub menyatakan akan membuat suatu panduan bagi Pemda untuk mengatur angkutan roda dua, agar tidak menimbulkan konflik horisontal.

“Kita akan membuat suatu panduan bagi Pemda untuk mengatur. Sambil kita dapat suatu landasan hukum yang jelas. Roda dua ini benar-benar kompleks karena sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Kita bisa pesen martabak dari situ, mereka untung, kita untung, kalau tiba-tiba hilang rasanya berdosa. Oleh karenanya, kita bukan ragu dalam menerapkan aturan, tapi kita berhati-hati,” tutup Menhub. (CRA/TH/BS/JAB)