(Jakarta, 09/01/10) Kementerian Perhubungan berencana menyurati Departemen Keuangan, meminta agar pengenaan pajak sewa pesawat sebesar 20 persen mulai 1 Januari 2010—sebagaimana termuat dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dievaluasi kembali.
 
”Kita sedang siapkan surat untuk Menteri Keuangan, soal pajak itu. Kita minta evaluasi pelaksanaannya kembali. Suratnya dari Menhub kepada Menkeu,” ujar Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bakti S Gumay di Jakarta, Jumat (8/1).
 
Menurut Herry, melalui surat yang direncanakan untuk dikirimkan pada pekan depan tersebut, pihaknya akan meminta justifikasi tentang dasar pengenaan pajak berganda kepada penyewa atas transaksi penyewaan pesawat tersebut. Karena menurutnya, maskapai yang menyewa telah membayar pajak penghasilan (PPh). ”Jadi, yang seharusnya dikenakan pajak sewa adalah pihak yang memiliki pesawat. Tetapi ini malah jadi pajak berganda,” imbuhnya.
 
Di sisi lain, Herry menambahkan, pengimplementasian kebijakan baru yang ditetapkan 5 November 2009 tersebut dinilai terlalu mendadak. Karena hanya dalam kurun tiga bulan, peraturan tersebut langsung diiplementasikan. ”Pelaku usaha membutuhkan waktu sosialisasi yang lebih panjang. Kita (Kementerian Perhubungan) juga ingin tahu dampak dari pajak ini sejauh mana. Pelaku usaha bilang, apakah benar bisa memicu kenaikan tarif atau justru malah dampaknya hanya kecil sekali,” pungkasnya.
 
Kekhawatiran para pelaku usaha atas penerapan aturan baru ini telah disuarakan sejak ditetapkan November silam. Organisasi maskapai penerbangan nasional, INACA, mengatakan bahwa pengenanaan pajak sebesar 20 persen tersebut sangat memberatkan.
 
Ketua Umum INACA Emirsyah Satar belum lama ini mengatakan, pemberlakuan peraturan tersebut akan berdampak meningkatkan biaya sewa pesawat pada anggota INACA. Pasalnya, biaya sewa pesawat merupakan komponen signifikan operasional maskapai. Karena itu, INACA meminta pemberlakuan peraturan tersebut ditunda.
 
Emirsyah Satar menyatakan, seluruh maskapai nasional keberatan dengan adanya pajak sewa pesawat tersebut. Sebab, hal itu akan menimbulkan biaya tambahan cukup besar yang mencapai USD 96 juta (Rp 912 miliar) per tahun. ''Asumsinya, dari 500-600 unit pesawat yang beroperasi di Indonesia, sebanyak 400 unit adalah sewa,'' ujarnya.
 
Saat ini, kata dia, harga sewa pesawat termurah rata-rata USD 100 ribu per bulan sehingga total ongkos sewa 400 pesawat tersebut mencapai USD 40 juta. Artinya, jika dikenakan pajak 20 persen, beban operasional yang dialami maskapai nasional mencapai USD 8 juta per bulan. ''Dan jika dikalikan 12 bulan, muncul kewajiban membayar USD 96 juta per tahun," paparnya.
 
Emirsyah mengatakan, harga sewa pesawat berteknologi lebih canggih diperkirakan lebih mahal lagi, yaitu mencapai USD 150 ribu per bulan. Dengan begitu, pajak sewanya juga lebih tinggi, yaitu mencapai USD 18 ribu per bulan. Pajak itu harus dibayarkan setiap kali kontrak sewa diperbarui. ''Bila ini yang terjadi, maskapai domestik pasti membebankan pajak itu kepada konsumen sehingga tarif penerbangan juga akan naik," lanjutnya.
 
Untuk itu, dia berpendapat bahwa Dirjen Pajak harus merevisi pajak sewa pesawat tersebut karena akan merugikan konsumen dan maskapai penerbangan di dalam negeri. ''Setidaknya, hal itu tidak dilaksanakan secepat itu," ujarnya. Menurut Emir, tidak ada negara lain yang mengenakan pajak sewa pesawat karena perusahaan penyewaan (lessor) mendaftarkan pesawat miliknya sebagai special purpose vehicle (SPV). "Itu dapat perlakuan khusus perpajakan," katanya.
 
Sayangnya, kata Emir, di Indonesia, aturan mengenai SPV tersebut belum jelas. Akibatnya, meski termasuk SPV, tetap dikenai pajak. Dia menilai lambat laun pengenaan pajak sewa pesawat sebesar 20 persen itu akan menurunkan daya saing maskapai sekaligus merugikan konsumen angkutan udara. "Ini yang bahaya karena kita harus bersaing dengan maskapai asing saat ada open sky (kebijakan udara terbuka)," jelasnya.
 
Sementara itu, Herry Bakti juga pernah memastikan bahwa pengenaan pajak sewa pesawat tersebut bisa menaikkan tarif angkutan udara. Sebab, akibat pajak itu, maskapai nasional harus mengeluarkan biaya tambahan yang mencapai Rp 912 miliar per tahun.
 
Sebagai jalan tengah, besaran beban tersebut perlu dipertimbangkan untuk masuk dalam revisi Keputusan Menteri (KM) Nomor 9/2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. ”Kalau signifikan, pasti kita masukkan. Kita akan mengundang INACA untuk mencari tahu berapa besar beban komponen pajak tersebut bagi maskapai,” ungkapnya. (DIP)