(Jakarta, 7/5/2012) Bersamaan dengan satu tahun kecelakaan jatuhnya pesawat Merpati Nusantara Airlines (MNA) MA 60 dengan registrasi PK-MZK dengan nomor penerbangan MZ 8968 dari Bandara Domine Eduard Osok, menuju Bandara Utarom, Kaimana, Papua Barat, 7 Mei 2011 lalu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyampaikan hasil investigasi dan menggulirkan beberapa rekomendasi kepada operator dan Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.

Sebelum menyampaikan rekomendasi, Investigator KNKT Mardjono Siswosuwarno menuturkan dari hasil investigasi yang dilakukan timnya dan hasil dari rekaman Black Box, maka terdeteksi bahwa terjadi kekurangwaspadaan pilot dikarenakan mencari landasan pacu ketika akan melakukan pendaratan (approach).
 
Menurut Mardjono, kedua pilot membatalkan pendaratan dengan menaikkan pesawat akibat landasan pacu tidak terlihat. Kedua pilot memutuskan untuk membatalkan approach dengan menaikkan pesawat sambil berbelok ke kiri untuk terbang di atas laut. Ketinggian pesawat mencapai 585 kaki, dan kemiringan pesawat bertambah dari 11 menjadi 38 derajat ke kiri.
 
Dari hasil rekaman juga diambil kesimpulan bahwa kedua pilot sangat minim berkomunikasi. Mereka menurut Mardjono juga tidak melakukan crew briefing dan membaca check list. Laju penurunan (rate of descent) bertambah secara signifikan hingga mencapai sekitar 3.000 kaki per menit, dan akhirnya pesawat masuk ke laut.
 
Di sisi lain, kurang efektifnya program pelatihan turut berpengaruh terhadap tindakan pilot yang menyimpang dari produser standar.
 
Soal kelayakan pesawat Merpati buatan China tersebut, Ketua KNKT, Tatang Kurniadi mengungkapkan bahwa pesawat jenis MA 60 buatan Xian Aircraft tersebut tidak bermasalah. Pesawat memenuhi standar, ada sertifikat, dan tidak ada tanda-tanda kerusakaan pesawat. "Kesalahan banyak dari pengendalinya saja," ujarnya.
 
Ditambahkan Tatang,  kedua penerbang tersebut memiliki jam terbang rendah untuk menerbangkan MA-60. Dimana, PIC 199 jam dan co-pilot 234 jam. Padahal seharusnya minimal masing-masing pilot mempunyai 250 jam terbang.
 
KNKT menurut Tatang, merekomendasikan kepada PT MNA untuk meningkatkan sistem manajemen pelatihan. Selain itu, prosedur penerimaan pesawat, antara lain dokumentasi dan manual sesuai persyaratan CASR. Sementara untuk Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, lanjut Tatang, KNKT merekomendasikan prosedur pemeriksaan pesawat sebelum menerbitkan initial airworthiness certificate. Di sisi lain, peninjauan kembali silabus pelatihan guna memenuhi persyaratan kualifikasi dan crew pairing.
 
KNKT juga merekomendasikan agar Ditjen Perhubungan Udara meninjau kembali silabus pelatihan untuk memenuhi persyaratan kualifikasi, serta meninjau ulang Safety Management System (SMS) ke semua operator. (CHAN)