(Jakarta, 04/01/10) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan memanggil Kepala Bandara Moses Kilangin, Timika, Papua, untuk mengkonfirmasi kebenaran atas keluhan maskapai Garuda Indonesia yang mengaku tak diberikan bahan bakar oleh pihak pengelola bandara karena menolak untuk mengangkut bos PT Freeport dari Jayapura menuju Timika, Minggu (3/1) kemarin.

Menurut Dirjen Perhubungan Udara Herry Bhakti S Gumay, surat pemanggilan tersebut telah disampaikan pihaknya kepada pengelola bandara di Timika. ”Surat panggilan sudah (dikirimkan) hari ini, tapi mereka baru bisa datang besok. Yang kita panggil kepala bandaranya, karena dia yang paling bertanggung jawab kalau ada masalah di sana, salah satunya adalah insiden (Garuda) kemarin,” ungkap Herry saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (4/1).

Herry menjelaskan, berdasarkan informasi sementara dari pihak bandara yang dia terima, alasan tidak diberikannya bahan bakar kepada pesawat Garuda bukan lantaran tidak diangkutnya bos PT Freeport. ”Tetapi memang karena fuel-nya tidak cukup. Menurut pengakuan pihak bandara, ini sudah diinformasikan sejak jauh hari kepada pihak maskapai,” jelasnya.

Dia menambahkan, pihak bandara sendiri telah menyampaikan pemberitahuan resmi tentang keterbatasan bahan bakar tersebut tidak hanya kepada Garuda, tetapi juga kepada Merpati Nusantara Airlines yang juga beroperasi di bandara tersebut. ”Penjualan kepada kedua maskapai ini mereka kurangi karena ada keterbatasan fuel. Katanya, suratnya sudah dikirimkan Freeport sejak 25 Desember. Mereka tidak bilang kondisi ini berlaku sampai kapan,” lanjutnya.

Pertamina, menurut Herry, sebagai operator pengisian bahan bakar tunggal di Moses Kilangin, memiliki kapasitas bunker penampungan hingga 8.000 liter per hari. Bahan bakar sebanyak itu, relatif hanya cukup untuk menutupi kebutuhan pesawat-pesawat yang digunakan Freeport. ”Mereka bilang untuk kebutuhan sendiri. Tetapi, seharusnya itu tidak boleh karena bandara berstatus bandara umum,” tegas Herry.

Terkait itu, Herry melanjutkan, pihaknya tidak hanya mengkonfirmasi, tetapi akan melakukan pula evaluasi khusus terhadap Bandara Moses Kilangin tersebut. Jika dengan status tersebut pihak bandara hanya melayani kepentingan sendiri, menurutnya tidak menutup kemungkinan status bandara saat ini akan dicabut. ”Bisa saja statusnya kita cabut, tetapi segala sesuatu kan harus dikomunikasikan dulu. Nanti, setelah kita evaluasi, kita akan tegur. Jika perlu kita turunkan statusnya, ya, akan kita turunkan. Karena ketentuan sebagai bandara umum, ya harus menyiapkan keperluan bahan bakar untuk umum,” ujar Herry.

Di sisi lain, Herry menambahkan, ke depan pihaknya akan merekomendasikan penambahan depot pengisian selain milik Pertamina di Bandara Moses Kilangin. Tujuannya adalah memperbesar kapasitas bahan bakar di bandara tersebut untuk menghindari insiden Garuda terulang di kemudian hari. ”Kita akan buka peluang bagi swasta masuk. Jadi, tidak hanya ada Pertamina di sana,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Bandara Timika memang berstatus milik PT Freeport. Namun atas permintaan PT Freeport juga, bandara tersebut akhirnya dikomersilkan untuk umum. Pemda setempat pun juga mengalokasikan anggaran untuk bandara yang terletak di Kota Timika ini. Herry menegaskan, apapun alasannya, penolakan PT Freeport tidak dibenarkan. Hanya saja, menurutnya, hal ini berada di wilayah abu-abu lantaran ada unsur bisnis di dalamnya. (DIP)