JAKARTA – Tragedi kecelakaan laut masih kerap terjadi selama semester pertama 2020, kendati arus lalu lintas kapal di perairan Indonesia jauh berkurang terkendala pandemi Corona Virus 2019 (Covid-19).

Sebut saja sejumlah kasus kecelakaan laut, belakangan ini di perairan nasional, antara lain, di perairan Kepulauan Nias menenggelamkan dua kapal ikan yang menewaskan 13 ABK (22/6), di Selat Sunda juga kapal penangkap ikan tenggelam tercatat 10 nelayan hilang (22/6), dan berikutnya karamnya KM Dharma Rucitra III di Selat Lombok – dihempas ombak besar meskipun tidak menelan korban penumpang maupun ABK (13/6).

Musibah beruntun tersebut menjadi catatan merah yang harus ditanggulangi pemerintah maupun stakeholder di sektor maritim di negeri ini. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan pun segera melakukan pembenahan moda transportasi laut guna meminimalisir potensi terjadinya kecelakaan kapal laut saat berlayar.

Dari hasil investigasi kecelakaan kapal laut oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tercatat bahwa faktor kesalahan manusia (human error) seringkali menjadi penyebabnya. Tapi tidak berarti bahwa semua kesalahan hanya pada awak kapal (ABK) ataupun nakhoda.


Tentunya ada faktor lain yang memiliki andil hingga terjadinya kecelakaan walaupun sedikit perannya, seperti antara lain kondisi kelaikan kapal laut, kondisi cuaca, kelalaian aparat pemerintah di pelabuhan, dan faktor lain, yang satu dengan lainnya saling keterkaitan yang bisa berdampak hingga terjadinya kecelakaan kapal saat melaut.

Tindak Tegas

Di dalam upaya meminimalisir kecelakaan kapal laut oleh faktor lain, Kementerian Perhubungan menyatakan akan menindak tegas terhadap pelanggaran kepatuhan terhadap kelaiklautan kapal yang merupakan salah satu aspek penting yang menjadi kebutuhan mutlak dan tanggung jawab bersama, baik regulator, operator, maupun pengguna jasa.

Pemerintah terus dengan gencar menghimbau para operator pelayaran dan para pemilik kapal untuk senantiasa mengutamakan keselamatan dan keamanan dalam pelayaran, dengan mematuhi kelaiklautan kapal.

"ABK dan nakhoda yang bertugas wajib memastikan peralatan keselamatan pelayaran berfungsi dengan baik dalam jumlah yang memadai, serta muatan penumpang dan barang di kapal tidak melebihi kapasitas," jelas Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Ahmad di Jakarta, awal September (1/9).

Terkait penegakan hukum di perairan Indonesia, pada Juli - Agustus 2020, Ditjen Perhubungan Laut melalui Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP) Kelas II Bitung telah menyelesaikan kasus pelanggaran hukum (tindak pidana) di bidang pelayaran sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Direktur KPLP mengungkapkan bahwa pihaknya berhasil menyelesaikan suatu kasus yang melibatkan nakhoda Kapal TB. Tanjung Bahari 18/BG. Bahari 3008 berbendera Indonesia yang terbukti melakukan tindak pidana di bidang pelayaran.

“Terdakwa telah mengoperasikan kapal yang tidak laik laut, sesuai dengan Petikan Putusan dari Pengadilan Negeri Bitung Nomor 135/Pid.B/2020/PN tanggal 26 Agustus 2020,” ujar Ahmad.

Direktur KPLP sangat mendukung dan mengapresiasi kinerja Pangkalan PLP Kelas II Bitung yang telah berhasil menyelesaikan suatu kasus penegakan hukum tindak pidana itu.

Sesuai dengan arahan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, tegas Ahmad, maka ditekankan semua petugas pangkalan PLP untuk tetap menjaga integritas dalam menjalankan proses hukum dan agar tetap sesuai dengan regulasi demi terciptanya keselamatan pelayaran.

Menambahkan penjelaskan Direktur KPLP, Kepala Pangkalan PLP Kelas II Bitung, Johan Christoffel menuturkan, kejadian tersebut berawal pada saat Kapal Patroli KN. Pasatimpo – P.212 milik Pangkalan PLP Kelas II Bitung yang dikomandani Fadly Togas Djafar menggelar patroli keselamatan maritim (PATKESMAR) di perairan Batu Putih Bitung, Sabtu (25/7) lalu.

Saat itulah Tim PATKESMAR melihat kapal yang mencurigakan, kemudian menghadang dan memeriksa terhadap Kapal TB. Tanjung Bahari 18 / BG. Bahari 3008 bendera Indonesia itu sedang melaksanakan pelayaran dari Pelabuhan Bayah Labuan Banten menuju Bitung.

Dari hasil pemeriksaan, Tim Patroli menemukan kondisi Radio SSB di KN. Pasatimpo - P.212 sudah rusak, izin Stasiun Radio Kapal Laut habis masa berlaku 27 Juni 2020, Certificate of Re-Inspection Inflatable Life Raft dan Certificate of Re-Inspection Inflatable of Fire Exthinguisher juga sudah habis masa berlakunya pada 7 Juli 2020 dan Jurnal Radio tidak ada di atas kapal. "Sertifikat Nasional Sistem Anti Tritip TB. Tanjung Bahari 18 dan BG. Bahari 3008 juga belum dilaksanakan pengukuhan yang seharusnya dilaksanakan pada Maret 2020,” ungkap Johan.

Setelah diadakan ad hoc, keesokan harinya pada Minggu 26 Juli 2020, Komandan KN. Pasatimpo - P.212 melaksanakan serah terima berkas awal pemeriksaan Kapal TB. Tanjung Bahari 18 dan BG. Bahari 3008 bendera Indonesia kepada Kepala Pangkalan PLP Kelas II Bitung untuk ditindaklanjuti proses hukumnya.

Setelah mempelajari dan meneliti berkas awal pemeriksaaan Kapal, Johan Christoffel menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin/1/1/PPNS/PLP-Btg-2020 tanggal 27 Juli 2020 kepada Tim Penyidik yang diketuai oleh Sabar Maima Hasugian yang pada saat dimulainya penyidikan menjabat selaku Kepala Operasi Pangkalan PLP Kelas II Bitung, untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran yang dilakukan Nakhoda Kapal TB. Tanjung Bahari 18 / BG. Bahari 3008 bendera Indonesia.

Selama proses penyidikan, Pangkalan PLP Bitung terus melakukan koordinasi dengan pimpinan di Ditjen Perhubungan Laut dalam hal ini kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut dan Direktur KPLP.

Sidang telah berlangsung sebanyak 3 kali, sebagai berikut: sidang pertama hari Rabu (19 Agustus 2020) dengan agenda sidang mendengarkan keterangan saksi-saksi dan tersangka. Sidang kedua hari Senin (24 Agustus 2020) dengan agenda sidang pemeriksaan barang bukti serta dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pada sidang ketiga - sidang terakhir (Rabu, 26 Agustus 2020) dengan agenda sidang pembacaan putusan majelis hakim dengan ketetapan bahwa tersangka (nakhoda kapal) dinyatakan sah bersalah melanggar Pasal 302 Ayat (1) dan Pasal 117 Ayat (2) Undang - undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.

Jangan Sampai Terulang

Johan berharap, kejadian pelanggaran kelaikan kapal melaut jangan sampai terulang. Untuk itu, ia mengajak masyarakat pelayaran agar tunduk dan patuh terhadap pemenuhan aspek keselamatan dan keamanan pelayaran.

Aspek keselamatan dan keamanan pelayaran adalah hal yang sangat penting. “Khususnya kelaiklautan kapal demi keselamatan pelayaran sebagai tanggung jawab kita bersama, Pemerintah, operator dan juga masyarakat," ujar Johan. (IS/AS/HG)