JAKARTA - Kementerian Perhubungan secara tegas melarang keberadaan perusahaan angkutan umum roda dua seperti Go Jek, Grab Taxi, Grabbike, Lady Jek, Blue Jek dan sebagainya, beroperasi sebagai angkutan umum. Pemerintah akan mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan transportasi umum sesuai dengan Pasal 139 UU No. 22 Tahun 2015 yang menyebutkan bahwa Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antar kota, antar provinsi serta lintas batas negara.

Demikian ditegaskan Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono pada acara Coffee Morning dengan tema Pemanfaatan Layanan Transportasi Menggunakan Aplikasi Internet di kantor Kemenhub, Senin (26/10). Hadir dalam acara tersebut pihak Organda, YLKI, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Djoko mengkritisi kebijakan kepala daerah. Setelah diberlakukannya Otonomi Daerah, Pasal 139 sering terabaikan. Di daerah, masih banyak anak-anak ke sekolah harus berjalan kaki berkilo meter. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten. Akibat ketidakpahaman ini membuat masyarakat melengkapi dirinya dengan kendaraan pribadi seperti sepeda motor.

Dirjen Perhubungan Darat menegaskan, perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan dan keteraturan, yang ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan (Pasal 141 UU No. 22 Tahun 2009).

Bahwa selama ini Go Jek, Grab Bike, Grab Bike, Grabtaxi, Blue Jek mengklaim sebagai perusahaan online aplikasi transportasi, Joko mengatakan, "Kalau apliksinya yang dikembangkan, silahkan. Karena pemerintah sendiri terus mendorong smart application. Tapi yang diatur pemerintah adalah sarananya, dalam hal ini sepeda motor sebagai alat transportasi umum," ujar Djoko.

Meskipun menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi umum jelas-jelas melanggar Undang-Undang, namun dilapangan sampai saat ini belum dilakukan penindakan secara tegas oleh penegak hukum.

Bambang, komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional mengatakan, pemerintah jangan hanya melarang, tapi harus bisa mengatur dan membina, supaya tidak melanggar hukum dan unsur perlindungan konsumen tetap terlindungi, khususnya dalam keselamatan.

Nining dari Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas) mengatakan, masyarakat membutuhkan sarana yang cepat dan murah. Sementara itu hingga saat ini Organda sebagai organisasi perusahaan transportasi tidak menyelesaikan masalah.

Melihat fenomena yang ada, lanjut Nining, pemerintah harus melakukan penyesuaian. "Kalau perlu UU-nya diamandemen untuk menyesuaikan kekinian" kata Nining. Contohnya, ojek yang sudah ada sejak belasan tahun lalu dilegalkan sebagai alat transportasi umum, tapi diatur lintas operasionalnya, misalnya hanya di kawasan perumahan, gang-gang di kawasan perkotaan. Bila masuk ke jalur protokol, aparat harus menindak tegas. (JO)