(Jakarta, 20/03/10) Proses pembayaran Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) kepada Ditjen Bea dan Cukai terkait dengan pengadaan dua helikopter latih untuk Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI)  harus segera diselesaikan oleh kontraktor yang mengadakan helikopter tersebut. Hal ini agar kedua helikopter yang saat ini masih disegel bisa segera digunakan untuk kelancaran pendidikan siswa.

”Saya sudah minta Kepala STPI (Darwis Amini) untuk mendesak pihak ketiga (kontraktor) menyelesaikan urusan soal pajak barang mewah itu, karena itu bukan urusan kita. Kita tidak mau proses pendidikan dan pelatihan taruna STPI terganggu lantaran pesawat disegel terlalu lama,” jelas Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Perhubungan Kementerian Perhubungan Dedi Darmawan di Jakarta, Jumat (19/3).

Dikatakannya, penyegelan tersebut terjadi lantaran kontraktor tengah mengupayakan pembebasan PPnBM dari kedua helikopter latih pesanan sekolah binaan Badan Diklat Perhubungan yang didatangkannya tersebut. Alasannya, kedua helikopter itu sedianya akan digunakan bukan untuk keperluan niaga/komersial, melainkan untuk kepentingan pendidikan.

”Kita (Badan Diklat) akan bantu pihak ketiga untuk mengupayakan pembebasan pajak barang mewah itu. Tetapi kalau ternyata aturannya tetap tidak bisa, ya, mereka kami desak untuk segera menyelesaikannya, supaya proses pendidikan tidak terganggu gara-gara itu,” tegas Dedi Darmawan.

Aturan dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Kementerian Keuangan Nomor 145 Tahun 2000 menyebutkan, helikopter maupun pesawat masuk dalam kategori barang mewah dan wajib membayar PPnBM yang dipungut Ditjen Bea dan Cukai. Selama ini Kementerian Keuangan mengkategorikan pesawat latih dalam kelompok impor barang mewah untuk keperluan non-niaga, sehingga sekolah penerbangan harus membayar pajak sampai 50%.

Namun, peraturan ini telah diubah dengan  PP No 6/2003 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 570/KMK.04/2000 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 39/KMK.03/2003 diatur bahwa atas impor pesawat udara dikenakan PPN BM dengan tarif 50% kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga.

Terpisah, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bhakti mengatakan bahwa pihaknya sudah menerima masukan dari beberapa sekolah penerbang, atas keberatan mereka yang harus membayar pajak untuk pengoperasian pesawat latih impor. Menurut Herry, pihaknya akan berbicara dengan Kementerian Keuangan mengenai kategori pesawat latih tersebut. Karena pesawat latih tersebut bisa dijadikan training atau sebagai dipakai secara pribadi (private). Herry mengatakan, Kemenhub akan meminta pesawat latih agar dimasukkan ke dalam kategori pesawat niaga, sehingga dibebaskan dari pajak.  

”Kami (Kemhub) akan bicara dengan Kemenkeu agar dikurangi atau mungkin dihilangkan karena akan berimbas pada biaya sekolah yang akan jadi mahal. Hal itu jangan dikategorikan pesawat mewah dan komersil, izin pajak bea masuk dan pajak barang mewah itu biasanya untuk komersil bukan pendidikan,” kata Herry.

Sebelumnya, Kepala Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug Darwis Amini mengatakan, bahwa sebenarnya yang harus membayar itu bukan sekolah penerbang namun kontraktor yang membawa pesawat latih tersebut masuk ke Indonesia . “Bukan kami yang membayar, tapi kontraktor. Kami tidak akan mau membayar karena dalam klausul kontrak yang kami lakukan dengan kontraktor tidak mencantumkan bahwa STPI harus membayar pajak tersebut,” ujar Darwis.

Menurut Darwis, penyegelan kedua helikopter itu memang tidak berimplikasi secara langsung kepada biaya sekolah Taruna penerbang. Namun hingga kini satu pesawat latih belum dibuka segelnya karena kontraktor belum menyelesaikan pajak tersebut. ”Untuk saat ini meungkin belum punya efek, tapi nanti ke depan pasti berimpilikasi yang tidak baik,” ungkap Darwis.

Darwis menuturkan, bahwa pihaknya sudah mengirimkan surat kepada pihak perpajakan di wilayah Kabupaten Tanggerang sekitar dua bulan yang lalu, dan langsung mendapatkan jawaban dari pihak tersebut yang isinya penolakan permintaan pembebasan pajak atas pesawat latih. ”Setahu saya, dari diknas sudah ada aturan bahwa kalau pesawat tersebut digunakan untuk pendidikan maka tidak seharusnya dikenakan pajak, dan harus dibebaskan,” kata Darwis. (DIP)