(Makassar, 15/5/2010) Hingga saat ini kecelakaan jalan raya masih memegang predikat ”pembunuh” terbesar ketiga di dunia, setelah penyakit jantung dan TBC. Data Kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan, sepanjang tahun itu terjadi sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya. Artinya, dalam setiap 9,1 menit sekali terjadi satu kasus kecelakaan.
 
Hal tersebut diungkapkan Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono saat membuka Pekan Keselamatan Trasnportasi Jalan IV tahun 2010 di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (15/5). ”Dari jumlah tersebut, total korban meninggal dunia di lokasi mencapai 28 ribu orang. Itu berarti, tiga jiwa melayang setiap tiga jam, atau setiap 20 menit ada satu nyawa yang hilang di jalan raya. Saya yakin, jumlahnya bisa di atas itu, karena korban yang mengalami luka berat bisa jadi meninggal beberapa waktu kemudian saat dibawa ke rumah sakit atau setelah mendapatkan perawatan. Ini kondisi yang sangat memperihatinkan,” jelasnya.
 
Kecelakaan di jalan, menurut Wamenhub, tidak hanya mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Di sisi lain, juga menimbulkan kerugian ekonomi (economic lost) yang cukup besar akibat efek domino yang ditimbulkan. Pada 2008, paparnya, Polri mencatat sebanyak 94.924 kasus kecelakaan terjadi di Indonesia. Banyaknya korban tewas yang ditimbulkan mencapai 19 ribu orang lebih. Sedangkan korban luka berat mencapai angka 22 ribu, dan korban luka ringan sebanyak 53 ribu orang.
 
”Jika dihitung dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia tahun itu, kerugian ekonominya mencapai Rp 81 triliun lebih,” jelasnya. Jumlah tersebut meliputi perhitungan potensi kehilangan pendapatan para korban kecelakaan, perbaikan fasilitas infrastruktur yang rusak akibat kecelakaan, rusaknya sarana transportasi yang terlibat kecelakaan, serta unsur lainnya.
 
Badan kesehatan dunia WHO mencatat, hingga saat ini lebih dari 1,2 juta nyawa hilang di jalan raya dalam setahun, dan sebanyak 50 juta orang lainnya menderita luka berat. Dari seluruh kasus kecelakaan yang ada, 90 persen di antaranya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kerugian materiil yang ditimbulkan mencapai sekitar 3 persen dari PDB tiap-tiap negara.
 
Kondisi inilah yang memicu PBB untuk mengeluarkan resolusi dengan membentuk Global Road Safety Partnership (GRSP) di bawah pengawasan WHO pada 2006 silam, dengan tujuan utama menekan angka kecelakaan dan tingkat fatalitas yang ditimbulkan terhadap korban-korbannya. PBB meminta negara-negara anggotanya untuk membuat kebijakan-kebijakan strategis baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk meminimalisasi jumlah maupun akibat yang ditimbulkan dari kecelakaan jalan raya.
 
Di Indonesia, Pemerintah menunjukkan komitmennya dengan membentuk jejaring organisasi yang sama pada 2007 dengan nama Global Road Safety Partnership Indonesia atau yang disingkat GRSPI. ”Tetapi kita, di Indonesia menggunakan falsafah kita sendiri, dengan memanjangkan GRSP menjadi Gotong Royong Selamatkan Pengguna Jalan,” ujar Ketua GRSPI Giri Suseno.
 
Program ini terfokus pada penyadaran akan pentingnya keselamatan di jalan raya kepada masyarakat. Karena sebagaimana dirilis WHO, dari seluruh kecelakaan yang terjadi di jalan raya, faktor kelalaian manusia (human error) memiliki kontribusi paling tinggi. Yaitu mencapai antara 80-90 persen dibandingkan faktor ketidaklaikan sarana kendaraan yang berkisar antara 5-10 persen, maupun akibat kerusakan infrastruktur jalan (10-20 persen).
 
”Ada etika yang tererosi di masyarakat, yaitu etika berkendara dengan tertib dan menaati peraturan serta menghindari pelanggaran-pelanggaran,” pungkas Wamenhub. Pemerintah, jelasnya, tidak hanya berupaya menurunkan angka kecelakaan dan fatalitas korban melalui kampanye. Upaya nyata lain dengan melibatkan banyak lembaga pemerintahan juga dilakukan, seperti memperbaiki fasilitas infrastruktur, sistem pelayanan transportasi, hingga menyiapkan regulasi. (DIP)