(Jakarta, 8/3/2010) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan masih memberikan toleransi bagi penerbang asing untuk bekerja pada dunia industri penerbangan nasional. Kebijakan tersebut diberikan mengingat masih terbatasnya jumlah tenaga penerbang lokal yang tersedia, serta masih rendahnya jumlah penerbang yang dapat dihasilkan lembaga-lembaga pendidikan penerbang di Indonesia saat ini.
 
Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti S. Gumay mengungkapkan, saat ini Indonesia baru memiliki tujuh sekolah penerbang dengan tingkat produksi total rata-rata per tahun sebanyak antara 100-120 pilot. Sementara jumlah tenaga penerbang yang dibutuhkan oleh industri penerbangan nasional mencapai antara 400-500 orang per tahun. Angka tersebut didasari pada pertumbuhan industri penerbangan nasional yang mencapai rata-rata 10 persen setiap tahun, yang  direspons oleh operator penerbangan dengan terus meningkatkan kapasitasnya melalui penambahan jumlah armada. ”Konsekuensinya, penambahan armada tersebut secara otomatis menuntut dukungan sumber daya manusia, terutama pilot untuk dapat mengoperasikannya. Tetapi dalam situasi sekarang ada kesenjangan antara jumlah armada dengan ketersediaan tenaga pilot nasional,” ujar Herry Bakti saat memberikan sambutan pada acara Wisuda Angkatan Pertama Bali International Flying School (BIFA) sekaligus penyerahterimaan lulusan perdana BIFA kepada PT Garuda Indonesia, di Jakarta, Sabtu (6/3).
 
Herry menambahkan, atas dasar itu Ditjen Perhubungan Udara saat ini masih menyetujui penempatan pilot asing oleh maskapai penerbangan nasional, meski mereka tidak berkualifikasi kapten maupun instruktur. ”Namun dalam jangka panjang kita berharap bahwa potensi nasional yang ada bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung kegiatan industri penerbangan kita. Keberadaan pilot-pilot asing sendiri nantinya akan selalu kita monitor agar maskapai tidak terlalu bebas memanfaatkan,” paparnya. Terkait itu, pemerintah mendorong seluruh lembaga-lembaga pendidikan penerbang Indonesia untuk konsisten dan terus berupaya meningkatkan produktivitas mencetak lulusan yang memiliki kompetensi dan kualifikasi yang mumpuni, baik untuk dijadikan awak pesawat di lingkup nasional maupun internasional. Tetapi harapan tersebut sulit tercapai jika tidak ada sinergi antara Ditjen Perhubungan Udara selaku regulator dan lembaga pendidikan yang dimaksud. Regulator, menurutnya, akan melakukan tindakan pembinaan dan pengawasan terhadap sekolah-sekolah untuk memastikan bahwa kaidah-kaidah yang telah ditetapkan, baik sisi keselamatan penerbangan maupun sisi pemenuhan standar minimum lulusannya. Sementara lembaga pendidikan diharapkan bahwa pemenuhan kaidah dan standar tersebut tidak hanya sebagai tuntutan untuk memenuhi aturan yang berlaku.  ”Tetapi lebih sebagai dorongan internal yang positif untuk mencapai suatu kemajuan yang berkelanjutan. Pemerintah memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada sekolah-sekolah penerbang di seluruh Indonesia untuk dapat memberikan akses pendidikan dan pelatihan kepada anak-anak bangsa dalam bidang ini,” katanya. (DIP)