(Jakarta, 14/08/09) Sebuah langkah maju telah dicapai dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia penerbangan setelah Departemen Perhubungan dalam hal ini Badan Diklat Perhubungan menandatangani kesepakatan kerjasama dengan Boeing Company Jum’at 14/08/09. Penandatangan kerjasama dilakukan oleh Kepala Badan Diklat Perhubungan Dedi Darmawan dan Regional Director, Business Development Alteon Training Commercial Aviation Services Boeing Andrew Choi di Kantor Badan Diklat Perhubungan Jalan Merdeka Timur Jakarta Pusat.

Fokus kerja sama ini adalah meningkatkan kualitas instruktur dan fasilitas sarana diklat untuk memenuhi standar aturan keselamatan penerbangan sipil internasional (Civil Aviation Safety Regulation/CASR). Kerja sama ini meliputi empat ruang lingkup, yaitu Maintenance Training Develompent (pengembangan pendidikan teknisi), Flight Training Development (pengembangan pendidikan penerbang), Manpower (program pengembangan SDM), serta Program Deliverable Schedule (kerja sama lanjutan).

Dalam jumpa pers usai penandantanganan MoU, Dedi Darmawan mengungkapkan, kerja sama ini merupakan salah satu bentuk perealisasian target dari program ’Go Global’ yang tengah dijalankan Badan Diklat Perhubungan .

”Ini adalah program pengembangan sayap ke tingkat dunia yang kami jalankan untuk lima tahun ke depan. Melalui program ini, kami tidak hanya memasarkan produk tetapi juga untuk meng-improve sumber daya manusia di tingkat internasional. Dengan Boeing, kita akan fokuskan pendidikan untuk teknisi dan pilot,” jelasnya.

Program tersebut, Dedi menambahkan, salah satunya bertujuan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan tenaga ahli di dunia penerbangan. Di mana, menurutnya, selama kurun lima tahun ke depan membutuhkan sedikitnya 1500 tenaga ahli teknisi pesawat terbang untuk tingkat dasar (basic) dan rating. Sementara saat ini, sekolah-sekolah terkait yang ada di Indonesia hanya mampu memproduksi sebanyak 150 tenaga per tahun.

Indonesia, lanjut Dedi, saat ini tengah mengalami kritis produksi SDM teknisi penerbangan profesional, baik untuk kualias dasar maupun tingkat rating (khusus). Dengan meningkatkan program-program kerja sama pendidikan dan pelatihan seperti ini, diharapkan produktivitas sekolah-sekolah  dan lembanga-lembaga pendidikan di Indonesia bisa meningkat.

”Dengan langkah ini, pada 2011 mendatang, diharapkan Indonesia bisa memproduksi sebanyak 300-600 tenaga ahli teknisi penerbangan profesional per tahun,” jelasnya.

Ditanya mengapa memilih melibatkan Boeing dalam program pengembangan pendidikan, Dedi mengatakan, Boeing merupakan salah perusahaan pembuat pesawat besar yang memiliki pangsa pasar cukup tinggi di dunia. Di Indonesia sendiri, mayoritas maskapai nasional menggunakan pesawat rakitan perusahaan yang bermarkas di Seattle, AS, tersebut.

”Boeing memiliki kru dan unit yang mampu membantu kita dalam mendidik tenaga-tenaga ahli. Boeing siap membantu kita untuk men-training SDM tidak hanya di tingkat basic, tetapi juga untuk type rating, termasuk pengembangan fasilitas pendidikan, kurikulum, dan standar sesuai ketentuan internasional,” papar Dedi.

Menurutnya, program kerja sama ini akan direalisasikan sesegera mungkin di tahun 2009. Pada tahap pertama, Badan Diklat akan menunjuk sebanyak 12 orang peserta dan mengirimnya untuk menjalani program pendidikan kerja sama yang akan digelar di markas Boeing, di Seattle, Amerika Serikat. Di sana, para peserta tidak hanya mengikuti program dasar tentang teknik-teknik pesawat terbang berstandar Boeing, tetapi juga digembleng untuk mendapatkan sertifikasi rating khusus sesuai tipe pesawat.

”Mereka adalah asset yang kemampuan mendidikanya sesuai dengan pengakuan AMTO (Approved Maintenance Training Organisations) Nomor 147 tahun 2003. Mereka lah yang nantinya akan menularkan apa yang mereka dapat dari program ini di sini (Indonesia),” ujar Dedi.

Sementara itu, Andrew Choi mengatakan, bagi perusahaannya, kerja sama ini merupakan kerja sama yang saling menguntungkan. Boeing sendiri, lanjut dia, tidak menjadikan tingginya penggunaan produk Boeing di Indonesia sebagai satu-satunya alasan untuk melakukan kerja sama. Karena itulah, biaya yang muncul atas kerja sama ini tidak menjadi hal mendasar yang harus dipersoalkan.

”Kami memang ingin membantu Indonesia dalam meningkatkan standar-standar pendidikan, fasilitas, serta mengembangkan kemampuan sumber daya manusia agar mampu bersaing di tingkat internasional. Biaya pasti ada, tetapi yang terpenting adalah kerjasamanya ini sendiri,” ujar Choi.

Selain dengan Indonesia, menurt dia, Boeing Company juga melakukan kerja sama serupa dengan negara-negara lain di Asia, seperti Jepang, Korea, China, Singapura, hingga Australia dan sejumlah negara lain di kawasan Eropa. ”Ini kerja sama yang saling menguntungkan. Pasti ada keuntungan yang kami dapatkan, begitu pun sebaliknya bagi pemerintah Indonesia,” pungkasnya.

Dedi Darmawan menambahkan, Badan Diklat akan terus membuka program kerja sama pendidikan dan pengembangan SDM dengan pihak swasta baik di tingkat lokal maupun internasional. ”Tidak hanya dengan Boeing. Tetapi juga perusaahaan lain. Seperti dua minggu lalu, kita sudah menandatangani kerja sama dengan GMF (Garuda Maintenance Facilities). Selanjutnya, kita akan menandatangani lagi kerja sama dengan Lufthansa, serta PT DI (PT Dirgantara Indonesia),” pungkasnya.

Selain itu, lanjut dia, jauh sebelumnya Badan Diklat juga telah menjalankan program kursus singkat (short course) bagi para pemegang kebijakan di perusahaan-perusahaan penerbangan nasional. Program yang dinamai Civil Aviation Safety Officer (CASO) tersebut dilakukan untuk meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya keselamatan.

”Ini programnya Pusdiklat dan Ditjen Perhubungan udara. Pesertanya level manajer. Setahun, kita adakan dua kali, dengan masing-masing pesertanya 40 orang. Ke depan, kita akan buka juga short course untuk level direktur dan presiden direktur,” jelas Dedi. (DIP)