(Jakarta, 18/2/2014) “Denda ratusan ribu rupiah ternyata tidak membuat jera para pelanggar lalu lintas,” demikian disampaikan Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan Hotma Simanjuntak dalam sambutannya ketika membuka kegiatan Penyuluhan Penegakan Hukum Bidang LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) di Semarang (12/2/2014). “Modus orang mencari celah-celah hukum itu canggih. Dilapangan ditemukan hal-hal yang tidak bisa dijerat dengan aturan. Disinilah kita perlu merapatkan barisan dan mewujudkan langkah-langkah untuk disepakati bersama,” jelasnya.

“Begitu kita berbicara penegakan hukum, kita tidak berbicara sendiri,” kata Hotma. Dalam penegakan hukum diperlukan kerjasama dengan instansi terkait yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. “Dibidang LLAJ,” Hotma mengatakan “Ada tiga hal yang menjadi area kerja para penegak hukum bidang LLAJ, yang terintegrasi dari pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Ketiga hal itu adalah pengujian kendaraan bermotor, terminal dan jembatan timbang.” Penanganan terminal yang kurang baik misalnya dapat mengakibatkan munculnya angkutan-angkutan liar. Kemudian adanya pemalsuan buku uji kendaraan bermotor yang banyak ditemukan dilapangan juga menunjukkan kelemahan penegakan hukum kita.

Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Tengah Urip Syihabuddin mengatakan, “Sesuai UU 22 tahun 2009 ada empat jenis pelanggaran : pertama pelanggaran terhadap persyaratan teknis dan laik jalan, kedua pelanggaran terhadap muatan, ketiga pelanggaran perizinan, yang terakhir pelanggaran terhadap rambu dan marka.

” Tiga pelanggaran yang disebut terdahulu yaitu pelanggaran persyaratan teknis, pelanggaran muatan dan pelanggaran perizinan adalah hal dominan yang menjadi pe-er bagi PPNS Bidang LLAJ. Menurutnya, banyaknya pelanggaran yang terjadi menunjukkan ketidakberdayaan dari aturan yang ada. “PPNS kita ini di lapangan mencoba mengupayakan agar semua aturan-aturan itu diterapkan, “tambahnya.

Nampaknya aturan-aturan itu tidak memberi ruang yang cukup. penerapan tilang di bidang angkutan jalan tidak menimbulkan efek jera. Contoh konkritnya adalah pelanggaran terhadap pasal 169 – 170 (Pengawasan Muatan Barang) UU 22 Tahun 2009 diberikan sanksi dalam pasal 307 itu denda maksimal Rp 500 ribu. Dilapangan dikenakan denda hanya berkisar 100 – 150 ribu. Menurut Urip rendahnya denda yang dikenakan semacam ini sangat tidak memberikan efek jera.

Hotma berharap dengan adanya kegiatan Penyuluhan Penegakan Hukum Bidang LLAJ tersebut dapat berfungsi sebagai wadah untuk membangun dan memelihara komunikasi antara pusat dan daerah. “Meskipun ada batasan otonomi daerah kita dapat terus bekerjasama dalam mengemban tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat,” katanya.

Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menyamakan persepsi penegak hukum oleh aparat LLAJ sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai pemeriksaan kendaraan bermotor dan penegakan hukum tindak pidana bidang LLAJ; Inventarisasi masalah dan pencarian jalan keluar permasalahan penegakan hukum serta sebagai salah satu wahana sosialisasi ketentuan penegakan hukum sesuai UU 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.
Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 130 peserta yang terdiri dari PPNS Bidang LLAJ, petugas jembatan timbang, petugas pengujian kendaraan bermotor yang sebagian besar berasal dari Provinsi Jawa Tengah.

Narasumber kegiatan ini adalah Direktur LLAJ yang memberikan paparan umum mengenai Penegakan Hukum Bidang LLAJ, Kejaksaan Tinggi Provinsi Jawa Tengah dengan materi tentang koordinasi penuntutan pidana bidang LLAJ, dan Direktorat Reskrimsus Polda Jawa Tengah yang memberikan materi terkait dengan mekanisme pemberkasan P21 tindak pidana pelanggaran LLAJ oleh PPNS Bidang LLAJ. (CAS)