PIP Semarang dan LKPI Jawa Tengah menyelenggarakan program diklat pemberdayaan masyarakat pelatihan basic safety training (BST) dan buku pelaut bagi anak buah kapal nelayan selama tiga hari di Pelabuhan Juwana, Kabupaten Pati. Peserta yang mengikuti program diklat ini akan mendapatkan sertifikat basic safety training dan buku pelaut.

Para nelayan mengetahui program diklat ini dari sesama nelayan ataupun diwajibkan oleh pemilik kapal. Suwarno salah satu peserta program ini mengatakan mengetahui diklat ini dari teman-teman sesama nelayan. Ia juga mengatakan program ini memudahkannya dalam pembuatan buku pelaut terutama dari segi waktu.

“Tahu program ini dari pemberitahuan teman-teman ada pembuatan BST sama buku pelaut secara massal. Kalau di sini kan bersama-sama bisa menyingkat waktu, lebih dekat,” ujar Suwarno yang berprofesi sebagai nakoda ini.

Program diklat pemberdayaan masyarakat ini tidak memiliki perbedaan kurikulum dengan yang diajarkan kepada taruna di sekolah kedinasan. Hanya saja para instruktur menggunakan metode mengajar dan penyederhanaan bahasa agar lebih mudah dimengerti dan dipahami.

“Dari segi bahasa, kalau taruna kita menyampaikannya menggunakan istilah-istilah yang digunakan di kapal seperti bahasa asing. Kalau di sini kan karena menyesuaikan keadaaan mereka, kita menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mereka mudah untuk memahami. Istilah-istilah asing itu mungkin kita hanya menyampaikan sepintas saja,” ungkap salah satu instruktur Capt. Yustina Sapan.

Meskipun begitu istilah-istilah asing ini tampaknya tidak menjadi penghalang bagi para nelayan untuk mempelajari dan memahami materi yang diberikan instruktur. Sebaliknya istilah asing atau yang mereka sebut sebagai “bahasa intelek” ini dapat menambah kekayaan pengetahuan mereka.

“Alhamdulillah pemahaman kami dan dari rekan-rekan semua, Insya Allah sudah paham. Mungkin ke depannya bisa ditingkatkan lagi mutunya biar lebih paham lagi. Kami (jadi) mengerti bahasa-bahasa yang lebih intelek. Nelayan kan rata-rata sekolahnya rendah, jadi bahasa-bahasa lebih intelek kami jadi lebih tahu,” ujar Suwarno.

Capt. Yustina Sapan menilai nelayan lebih mengerti lapangan dibandingkan dengan taruna, akan tetapi mereka masih belum memahami soal pentingnya peralatan keselamatan di kapal. Oleh sebab itu, mereka hanya memiliki peralatan keselamatan seadanya saja di kapal.

“Taruna itu belum mengerti lapangan. Kalau misalnya mereka (nelayan) ini kan sudah mengerti, tapi mereka belum tahu bagaimana pentingnya peralatan itu, bagaimana cara menggunakannya. Tadi di kelas ketika saya tanya, ternyata peralatan mereka itu seadanya saja,” kata instruktur yang berprofesi sebagai nakoda ini.

“Padahal kalau menurut aturan IMO itu kan harus paling tidak ada semua. Mereka hanya punya pelampung dan jaket yang dipakai untuk renang di kapal. Paling tidak harus ada rescue boat atau sekoci karena kalau mereka harus terpaksa meninggalkan kapalnya kan mereka harus menggunakan sekoci itu. Hanya saja tadi di kelas saya bilang paling tidak ada kayak jerigen mereka rakit kalau terpaksa karena tidak punya sekoci,” lanjut sang instruktur.

Program diklat pemberdayaan masyarakat ini menarik minat para nelayan. Hal ini terbukti dari jumlah peserta yang melebihi kuota. Kuota jumlah peserta yang diberikan sebanyak 300 orang, akan tetapi jumlah peserta yang mendaftar mencapai 1000 orang.

Tingginya minat nelayan ini membuat program diklat pemberdayaan masyarakat pelatihan basic safety training (BST) dan buku pelaut bagi anak buah kapal nelayan diperpanjang. Apabila pada program pertama diberikan gratis, program selanjutnya peserta akan dikenakan biaya. Meski akan dikenakan biaya, antusiasme para nelayan untuk mendaftar dan mengikuti program ini tidak menurun.

“Saya lihat mereka antusias karena ini kan kembali ke diri mereka bagaimana teknik untuk menyelamatkan diri mereka sendiri di laut, jadi karena menganggap ini sangat penting sehingga mereka antusias,” kata Capt. Yustina.