(Jakarta, 30/11/2011) Terhitung mulai 1 Januari 2017, pelaut nasional sudah harus memiliki kualifiasi  pelaut berstandar internasional dengan mengacu pada Amandemen Manila. Bila sampai batas waktu yang ditetapkan ternyata pelaut kita belum juga memiliki kualifiksi pelaut berstandar internasional, maka perusahaan pelayaran internasional, tempat sebagian besar pelaut kita bekerja, akan menolak pelaut Indonesia bekerja di kapal mereka. 

‘’Dengan dimiliki setifikat kualifikasi pelaut berstandar internasional, akan mewujudkan pelayaran yang selamat, aman, efisien dan laut bebas polusi dapat tercapai,’’ kata Menteri Perhubungan EE Mangindaan dalam sambutannya pada “Seminar Nasional Sosialisasi Implementasi STCW Amandements 2010 Manila di Indonesia,” yang di bacakan oleh Dirjen Perhubungan Laut Leon Muhamad, di Jakarta, Rabu (30/11).

Sebagaimana diketahui, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional STCW 1978 sejak tahun 1986, yang merupakan bagian dari upaya mewujudkan pengakuan dunia internasional bagi pelaut dan transportasi laut internasional dari Indonesia, saat itu.

Karena melalui standarisasi pelatihan, sertifikasi dan jaga laut bagi pelaut dapat ditingkatkan kompetensi profesionalisme untuk selalu beradaptasi dengan perubahan dan  perkembangan ilmu dan teknologi baru di bidang pelayaran, yang akan berimplikasi kepada pencapaian keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan laut.

Menurut Menhub, kontribusi pelayaran dalam perdagangan global telah mencapai 90 persen dan kemajuan teknologi menimbulkan berbagai tantangan baru di bidang industri pelayaran dan perkapalan yang berdampak terhadap perubahan situasi dan kondisi yang mempengaruhi kehidupan profesionalisme pelaut.

Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut, Amandemen Manila mengutamakan 3 hal pokok, yaitu pelatihan, sertifikasi dan jaga laut bagi pelaut.

Untuk itu, pemerintah berkewajiban untuk mensosialisasikan secara terus menerus para pemangku kepentingan, baik aparatur di lapangan,  Lembaga Diklat Pelayaran, perusahaan pelayaran nasional, Asosisi Pelaut dan asosiasi terkait lainnya yang terkait dengan pelayaran.

Sementara, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Kementerian Perhubungan Capt Bobby R Mamahit mengatakan, Amandemen Manila berlaku pada 1 Januari 2012 dan berlaku efektif pada 1 Januari 2017. Artinya Indonesia memiliki waktu 5 tahun untuk menjadikan pelaut kita bersertifikasi pelaut berstandar internasional.

Badan SDM Perhubungan dan Ditjen Perhubungan Laut telah melakukan langkah-langkah persiapan dalam bentuk konsep penyempurnaan berbagai peraturan yang terkait dengan Kepelautan, Penyusunan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Maritin Nasional, Kurikulum Diklat Kepelautan dan Penyempurnaan Sistem Standar Mutu Kepelautan dengan mengacu pada Amandemen Manila.

Saat ini Badan SDM Perhubungan sudah menyiapkan sejumlah modul-modul pendidikan dan pelatihan hasil ratifikasi IMO (International Maritime Organization), dimana Indonesia menjadi anggotanya dan kemudian di sesuaikan dengan kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional.

Mereka yang memulai pendidikan pada tahun 2012 nanti sudah menggunakan modul-modul yang mengarah pada Amandement Manila. Sedangkan bagi para pelaut yang sedang berlayar dapat segera menyesuaikan dan melakukan pendidikan secara bergantian, sehingga pada waktunya seluruh pelaut Indonesia sudah mengantongi kualifikasi pelaut berstandar internasional.

Saat ini Indonesia memiliki sekitar 340.000 orang pelaut dan diantaranya lebih dari 67.727 pelaut berlayar pada kapal asing di luar negeri dengan kualifikasi perwira sebanyak 15.906 orang dan rating 61.821 orang.

Para pelaut tersebut di telurkan dari 79 sekolah pelayaran yang terdiri dari 1 Universitas, 2 Sekolah Tinggi, 2 Politeknik Pelayaran, 1 Balai Besar, 14 Akademi, 4 Badan Diklat Pelayaran, 43 Sekolah Menengah Kejuruan Pelayaran dan 12 Maritime Training Center.

Namun demikian dari 79 Sekolah Pelayaran tersebut hanya 32 sekolah yang telah mendapat Approval (pengakuan program Diklat Kepelautan) dari Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. (PR)