(Jakarta, 25/4/2010) Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Perhubungan Kementerian Perhubungan melakukan sinergi dengan Asosiasi Perusahaan Pelayaran Nasional (Indonesian National Shipowner’s Association/INSA). Targetnya adalah mendongkrak produktivitas sekolah-sekolah kepelautan untuk mengatasi krisis tenaga perwira pelaut yang terjadi saat ini.

Kepala Badan Diklat Dedi Darmawan mengungkapkan, institusinya dan INSA sebagai orgnisasi yang membawahi ratusan perusahaan pelayaran nasional telah mengambil kesepakatan untuk bekerjasama mengatasi kebutuhan pelaut dalam negeri. ”Kita bersinergi untuk mencari terobosan-terobosan mengatasi kondisi ini. Banyak hal yang akan kita lakukan. Tidak hanya Badan Diklat dan INSA, stake holders lain juga kita libatkan. Termasuk salah satunya Departemen Pendidikan, karena ini erat kaitannya dengan perubahan kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kejuruan,” jelasnya di Jakarta, Jumat (23/4).

Dedi menjelaskan, krisis tenaga pelaut ini terjadi seiring diberlakukannya Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, yang mendorong tumbuh dan berkembangnya industri perkapalan di Indonesia. Indonesia saat ini membutuhkan sedikitnya 18 ribu perwira pelaut untuk kebutuhan industri pelayaran nasional.

Dedi menyebutkan, sejak Inpres tersebut diberlakukan, pertumbuhan populasi kapal nasional meningkat sangat tajam. ”Sekarang ini ada tiga ribu kapal baru yang membutuhkan begitu banyak tenaga perwira pelaut. Itu belum termasuk kebutuhan untuk kapal-kapal yang telah ada sebelumnya,” jelasnya.

Permasalahan seputar kekurangan tenaga pelaut itu menjadi agenda utama pertemuan Badan Diklat dan INSA di Hotel Borobudur 21 April 210 lalu. ”Dalam pertemuan itu, kita membahas terobosan-terobosan apa yang bisa kita perbuat untuk mengatasi kondisi yang bisa dikategorikan sebagai krisis nasional ini. Karena, transportasi laut merupakan urat nadi ekonomi nasional,” jelas Dedi.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Dedi menambahkan, Badan Diklat dan INSA telah merumuskan program untuk meningkatkan produktivitas lulusan tenaga perwira pelaut nasional. Salah satunya adalah menjalankan metode pendidikan “Crash Program”. Yaitu program percepatan pendidikan yang diutamakan bagi perwira tingkat ANT III dan ATT III. ”Dengan adanya program ini, taruna tidak lagi harus menempuh 4 tahun masa belajar, tetapi hanya 2,5 tahun,” jelasnya.

Sejalan dengan itu, diupayakan langkah untuk mensinergikan sekolah-sekolah khusus kepelautan yang dikelola pemerintah dan swasta untuk melipatgandakan lulusan. ”Pola pendidikan dan praktek kerja lapangannya kita setarakan. Fasilitas-fasilitasnya akan kita upgrade. INSA sendiri siap untuk menyedikan tempat di kapal-kapal mereka kepada siswa yang akan melakukan praktek kerja. Termasuk meminjamkan simulator kepada sekolah yang membutuhkan,” ujar Dedi.

Di sisi lain, lanjut Dedi, INSA juga menyiapkan program beasiswa bagi taruna-taruna terpilih. Siswa yang pendidikannya dibiayai melalui program beasiswa ini akan diikat dengan perjanjian kontrak untuk siap bekerja di perusahaan nasional yang berada di bawah bendera INSA. Upaya ini diyakini dapat meredam ekspansi para perwira laut ke luar negeri.

”Selain itu, INSA juga akan melakukan penyesuaiaan pemberian standar gaji yang lebih tinggi dari saat ini. Tujuannya agar pelaut tidak menyesal ikut program beasiswa, dan merasa nyaman bekerja di negara sendiri. Apa yang dilakukan INSA ini juga diamanatkan UU Pelayaran No.17/2008 , yang mewajibkan perusahaan pelayaran nasional untuk membantu pendidikan kepelautan untuk menutupi kebutuhan nasional,” pungkasnya.

Hingga 2009, lanjut Dedi, Indonesia baru bisa memproduksi lulusan baru maksimal hingga 2.000 orang per tahun. Pada 2010 ini, dengan telah dijalankannya crash program, jumlah lulusan perwira baru di Indonesia diperkirakan mencapai total 3.000-4.000 orang. ”Setidaknya pada 2013 nanti produksi lulusan perwira kita bisa stabil, berkisar 4.000-5.000 orang per tahun, sehingga tidak ada lagi istilah ”nakhoda terbang” di industri pelayaran nasional. Malah, dengan prduksi yang besar itu, kita juga bisa ikut memasok kebutuhan pelaut dunia dalam rangka mendongkrak devisa negara,” yakinnya.

Di sisi lain, Dedi menambahkan, pemerintah juga akan melegalisasi penggunaan tenaga pelaut asing pada kapal berbendera nasional, di mana dalam ketentuan penerapan azas cabotage, penggunaan tenaga asing sudah diharamkan.

”Tetapi, ketentuan ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu saja, dan hanya diizinkan bagi pelaut berkemampuan tertentu saja. Terutama yang erat kaitannya dengan perkembangan teknologi. Bisa dikatakan, ini upaya dalam kondisi darurat, di mana kapal-kapal kita sangat tenaga pelaut asing dengan kemampuan dan keahlian khusus yang belum dimiliki oleh tenaga pelaut lokal. Jadi, mereka yang dipakai harus benar-benar yang berkriteria tenaga ahli,” tegas Dedi. (DIP)