(Jakarta, 29/4/10) Pemerintah akan meninjau kembali aturan yang berkaitan dengan standar pengawakan kapal nasional sebagai salah satu langkah yang dilakukan dalam mengatasi krisis tenaga perwira pelaut dalam negeri yang terjadi saat ini. Aturan tersebut saat ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (KM) No. 70 tahun 1998 tentang Pengawakan Kapal Niaga. Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bobby R Mamahit menjelaskan, Indonesia saat ini kekurangan sedikitnya 18 ribu perwira pelaut untuk kebutuhan pelayaran dalam negeri. Hal itu seiring bertambahnya ribuan kapal di dalam negeri selama beberapa kurun terakhir ini.

”Tetapi revisi yang dilakukan bukan untuk mengurangi komposisi perwira di atas kapal. Revisi akan lebih kepada penyesuaian untuk kapal-kapal tertentu dan wilayah tertentu saja. Misalnya, untuk kapal-kapal yang beroperasi di dalam negeri dan pada jarak-jarak pendek, kita akan buat lebih detail lagi tentang standar pengawakannya. Intinya, kita ingin komposisi perwira yang ’cukup dan cakap’,” jelasnya dalam press background di Jakarta, Kamis (29/4). Bobby menegaskan, pemerintah tidak akan mengambil risiko dengan mengubah kebijakan yang bertentangan dengan aturan komposisi perwira kapal (ship’s manning) sebagaimana yang diatur dalam Bab V Pasal 14 konvensi internasional tentang keselamatan laut (SOLAS) International Maritime Organization (IMO).

”Revisi ini akan kita lakukan dengan sangat hati-hati dan dengan perhitungan yang sangat matang. Karena meski kita kekurangan pelaut, kita tidak mau standar keselamatan pelayaran kita korbankan. Untuk kapal yang beroperasi pada rute pelayaran internasional misalnya, itu pasti tidak akan kita utak-atik,” tegasnya. Masih terkait dengan meningkatkatnya jumlah kapal baru di Indonesia, lanjut dia, dispensasi terhadap tenaga pelaut asing juga akan diberikan pemerintah. ”Tetapi sifatnya hanya sementara, bukan selamanya. Kita tetap junjung tinggi azas cabotage. Masa tinggal mereka di kapal Indonesia akan disesuaikan dengan ketentuan keimigrasian. Paling lama hanya sekitar 12 bulan, dan itu akan lebih kepada transfer pengetahuan tentang kapal baru itu saja,” tandasnya. Di sisi lain, Bobby mengatakan, domain teknis upaya pemenuhan terhadap perwira pelaut ini sendiri akan menjadi tanggung jawab Badan Diklat Perhubungan.

Sebelumnya, Kepala Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Perhubungan Kementerian Perhubungan Dedi Darmawan mengungkapkan, lembaganya tengah menjalankan program pengayaan SDM pelaut dengan melaksanakan metode pendidikan singkat yang dinamakan ”crash program”. Program ini dikhususkan bagi pelaut-pelaut yang ingin mengambil sertifikat rating Ahli Nautika (ANT) III maupun Ahli Teknika (ATT) III. Program ini mempersingkat masa belajar siswa/taruna dari empat tahun menjadi 2,5 tahun. Dalam kurun tersebut, siswa akan mengenyam pendidikan teori selama 1,5 tahun di dalam kelas dan setahun praktek di atas kapal.
 
Dalam menjalankan program tersebut, Badan Diklat melakukan sinergi dengan asosiasi perusahaan pelayaran nasional INSA (Indonesian National Shipowner’s Association), utamanya dalam penyediaan tempat praktek kerja taruna/siswa. Sekurangnya, INSA akan menampung siswa/taruna yang akan menjalani praktek di kapal-kapal milik anggotanya selama kurun setahun, setelah mereka merampungkan pendidikan teori di dalam kelas. (DIP)