(Jakarta, 10/08/10) Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Sunaryo menegaskan, aturan pengoperasian setiap kapal motor berbobot mati kurang dari 7 Gross Ton (GT) tidak berada di bawah koordinasi Kementerian Perhubungan, melainkan pemerintah darah setempat. Aturan itu juga berlaku bagi kapal-kapal yang meski berbobot 7 GT namun dioperasikan di daerah-derah pedalaman.
 
”Ini yang harus dipahami. Jadi, tidak semua kapal dioperasikan berdasarkan izin Ditjen Hubla melalui Adpel atau Kakanpel. Untuk kapal-kapal berukuran kurang dari 7 GT, perizinan pengoperasiannya itu dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan. Kalau yang bobotnya di atas itu, dan dioperasikan di laut, memang itu menjadi tanggung jawabnya Kementerian Perhubungan. Jadi, jangan asal menuding bahwa setiap kecelakaan merupakan  kesalahan Menhub atau Dirjen Hubla. Semua ada porsinya,” tutur Sunaryo, dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Selasa (10/8).
 
Pernyataan itu disampaikan Sunaryo menyusul terjadinya kecelakaan laut, di mana dua di antaranya dialami dua kapal motor berukuran kurang dari 7 GT dan mengakibatkan sejumlah korbannya meninggal dunia. Kecelakaan pertama dialami KM Lasajero, kapal wisata jenis Katamaran berbobot 6 GT yang tenggelam dihempas ombak di perairan Bunaken, Manado (7/8). Dua dari 13 anggota anggota DPR RI dan keluarganya yang menumpang di kapal tersebut meninggal dunia, yaitu Setia Permana (FPDIP) dan Ny. Wahyu Mudani (istri Sucipto, Fraksi Demokrat).
 
Sedangkan kecelakaan kedua dialami KM Hasnita Indah 3 yang berbobot 5 GT, yang terbalik akibat dihantam gelombang gelombang besar di perairan Waijarang, perbatasan antara perairan Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Senin (9/8). Dari 87 penumpang yang diangkut kapal tersebut, 10 di antaranya meninggal dan tujuh lainnya masih  dalam pencarian.
 
Sunaryo mengatakan bahwa tingkat kompetensi aparat Dinas Perhubungan di sejumlah daerah, terutama terkait keselamatan dan keamanan pelayaran, masih perlu dipertajam. Kecelakaan yang menimpa dua kapal tergolong kecil di atas, menjadi bukti nyata yang tak bisa dipungkiri. ”Kapal cuma 5 GT diisi 87 orang, ini jelas berbahaya. Logika kapal bisa selamat dari hantaman gelombang besar, sangat tidak mungkin. Karena secara teknis, dengan muatan sebanyak itu, kapal tidak bisa melakukan manuver apa-apa,” ujarnya.
 
Terkait kondisi itu, Sunaryo mengatakan, dirinya telah memerintahkan seluruh Administrator Pelabuhan (Adpel) dan Kepala Kantor Pelabuhan (Kakanpel) untuk membantu para Kepala Dinas Perhubungan dan aparatnya terkait hal teknis dan prosedural pemberian izin pelayaran, termasuk menyikapi kondisi cuaca dan struktur badan kapal serta muatannya untuk menentukan kelaikan.
 
”Kalau tahu kapal-kapal yang menjadi tanggungjawabnya kurang baik, operator dan aparat daerah harus membenahi. Meski begitu, saya tetap imbau Adpel/Kakanpel saya untuk membantu, mengingat banyak di antara yang latar belakangnya bukan dari perhubungan laut. Karena, kompetensi tentang kelautan pastinya lebih banyak Adpel/Kakanpel. Telegram ke seluruh Adpel/Kakanpel terkait ini sudah saya kirim,” ujarnya.
 
Dia menambahkan, sebenarnya tidaklah menjadi sebuah permasalahan jika latar belakang pengetahuan para pejabat di dinas perhubungan bukan dari sektor perhubungan. Dengan catatan, pejabat yang dimaksud mau belajar dan menggali ilmu terkait bidang yang tengah digelutinya. ”Ada yang Kadishubnya itu mantan Dinas Pemakaman. Tetapi, itu tidak jadi soal sepanjang dia mau mempelajari ilmu pada bidang yang dia jalani. Saya bicara seperti ini bukan untuk menyalahkan atau cuci tangan, tetapi soal keselamatan, itu tanggung jawab kita semua,” imbuhnya.
 
Menurut Sunaryo, terlepas dari momentum masa pelaksanaan angkutan Lebaran, pihaknya telah setiap saat melakukan tindakan antisipasi terhadap potensi kecelakaan laut, mulai pemantauan cuaca hingga pengawasan terhadap kelaikan kapal. ”Terkait Lebaran, uji petik sudah dilakukan dan dipimpin langsung oleh Direktur Perkapalan dan Kepelautan (Arifin Sunarjo). Tetapi, uji petik bukan untuk kapal-kapal yang di bawah 7 GT, karena itu urusannya Pemda,” jelasnya.
 
Di sisi lain, pihaknya juga telah membentuk Posko Terpadu baik di tingkat pusat maupun daerah. Kemudian, dalam waktu dekat pihaknya akan mengirimkan sejumlah staf di kantor pusat Ditjen Perhubungan Laut utuk membantu penanganan di sejumlah pelabuhan-pelabuhan kecil rawan lonjakan penumpang, seperti Sampit, Kumai, dll. ”Tolong jangan disalahartikan, turunnya orang pusat ke daerah bukan karena tidak percaya sama yang di daerah, tetapi untuk meringankan beban kerja orang di daerah. Kalau untuk pelabuhan besar, di sana aparatnya sudah mencukupi,” pungkasnya. (DIP)