JAKARTA – Penumpukan penumpang Kereta Rel Listrik di sejumlah stasiun pada jam-jam padat, di hari kerja pada Senin pagi dan Jumat Sore, masih terjadi. Belum juga mampu terurai oleh serangkaian kebijakan mulai pembatasan usia (pekerja muda) dan pengaturan jam kerja jadi dua shift, serta kebijakan instasi pemerintah dan BUMN yang menetapkan di atas 50 tahun di minta WFH (work from home), selama pandemi Corona Virus 2019 (Covid-19) masih berlangsung.

Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) berupaya mencari solusi dalam menghadapi masalah yang timbul dampak dari penerapan kebiasaan baru pada moda transportasi umum. Terkait pengaturan kapasitas penumpang yang berdampak pada penumpukan penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) di sejumlah stasiun.

Sejauh ini Pemerintah telah menggulirkan kebijakan untuk menangani permasalahan tersebut, dengan menyediakan bus gratis setiap Jum'at sore dan Senin Pagi yang telah dilakukan sejak Mei 2020. Selang tiga bulan setelah dilakukan evaluasi-evaluasi, maka dipandang perlu kebijakan yang lebih komprehensif agar terwujud solusi yang berkelanjutan terhadap permasalahan tersebut.

Kepala BPTJ, Polana B. Pramesti menjelaskan dari evaluasi yang melibatkan berbagai pihak diantaranya para pakar/pemerhati transportasi telah berhasil memetakan karakteristik pengguna KRL.

"Hasil pemetaan ini menjadi landasan kami dalam menyusun kebijakan yang lebih menyeluruh dan tentunya juga mempertimbangkan kemungkinan pandemi masih berlangsung lama," jelas Polana di Bogor, Senin (3/8/2020) lalu.

Kebijakan yang diambil menurut Polana pada prinsipnya harus mampu menjamin ketersediaan layanan transportasi dengan tetap menegakkan protokol kesehatan, menjangkau keseluruhan segmen masyarakat serta berdampak positif pada aspek keberlanjutan layanan transportasi.

Kebijakan Transportasasi Harus Bisa Mengakomodir Kondisi dan Kepentingan Masyarakat

Hasil pemetaan yang dilakukan menunjukkan bahwa karakteristik masyarakat pengguna KRL cukup beragam mulai dari kalangan status sosial ekonomi bawah hingga status sosial ekonomi menengah. Mereka yang berasal dari status sosial ekonomi bawah memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sarana transportasi KRL karena harga tiket yang terjangkau bagi mereka.

Sementara itu ternyata terdapat juga pengguna KRL dari kalangan status sosial menengah yang mau dan mampu memanfaatkan layanan komuter selain KRL dengan harga tiket yang lebih tinggi, asal sesuai dengan pelayanan yang diberikan.

"Kebijakan yang diambil harus mampu mengakomodir kondisi dan kepentingan mereka semua, sehingga pada masa pandemi ini jika terpaksa melakukan aktivitas mereka dapat mengakses layanan transportasi umum yang memadai dengan penerapan protokol kesehatan," urai Polana.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka Pemerintah telah memutuskan beberapa langkah dalam satu paket kebijakan. Diantaranya pengurangan secara bertahap layanan bus gratis bagi pengguna KRL hingga Desember 2020. Bus gratis akan tetap dipertahankan hingga akhir tahun 2020, namun keberadaanya secara bertahap akan dikurangi.

"Langkah ini untuk mengakomodir kelompok masyarakat yang sangat bergantung pada KRL karena kemampuan finansial yang terbatas, manakala mereka tidak tertampung sarana KRL karena keharusan penegakan protokol kesehatan. Pengurangan bus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan dinamika kondisi yang terjadi di setiap saat," urainya.

Penyediaan dan peningkatan layanan bus JR Connexion di wilayah Bogor dan sekitarnya, untuk mengakomodir kelompok pengguna KRL yang memiliki kemampuan finansial lebih untuk memanfaatkan moda lain, bila mereka tidak terakomodir KRL. Layanan bus JR Connexion merupakan layanan bus "jemput bola" dengan titik pemberangkatan dari tempat yang berdekatan dengan pemukiman calon penumpang menuju titik-titik tertentu di Jakarta.

"Sifat layanan bus ini adalah point to point, pada pagi hari (jam berangkat kantor) dari daerah pemukiman menuju titik tertentu di Jakarta dan pada sore hari (jam pulang kantor) dari titik tertentu di Jakarta menuju pemukiman yang menjadi tujuan asal layanan tersebut," ujar Polana.

Dalam dua minggu terakhir telah diluncurkan layanan baru JR Connexion di Sentul City (Kabupaten Bogor) serta di Perumahan Taman Sari Persada (Kota Bogor). Peluncuran di Taman Sari Persada ini merupakan yang pertama di Kota Bogor, yang akan berlanjut dengan peluncuran JR Connexion di area pemukiman sekitar Stasiun Bogor pada hari ini.

Saat ini masih terus berlangsung penjajakan untuk membuka rute-rute baru JR Connexion di wilayah Kota Bogor. Penataan Angkot Terintegrasi dengan Transjabodetabek. BPTJ saat ini tengah meminta kepada semua Pemerintah Kota/Kabupaten di Jabodetabek tidak terkecuali Bogor untuk mengajukan skema subdisi kepada Pemerintah Pusat guna penataan angkot di wilayah masing agar dapat terintegrasi dengan layanan Transjabodetabek.

"Seperti halnya yang terjadi di Kota Bogor, sebenarnya saat ini sudah terdapat layanan bus Transjabodetabek dari Terminal Bus Baranangsiang dan Terminal Bubulak menuju terminal-terminal bus yang ada di DKI Jakarta dan bahkan Bekasi," tuturnya.

Jika Transjabodetabek ini dapat terintegrasi dengan baik secara sistem dengan angkot yang ada di Kota Bogor maka akan dapat diandalkan menjadi angkutan alternatif. Apalagi sebagai angkutan umum reguler berjadwal, Transjabodetabek yang di Kota Bogor ini sangat memungkinkan untuk diberikan subsidi sehingga tarifnya lebih terjangkau lagi.

Ganjil Genap Penyeimbang Penambahan Layanan Transportasi Umum lain

Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat, menjelaskan digulirkannya kebijakan Ganjil Genap mulai 3 Agustus 2020 lalu, dibarengi dengan upaya menambah layanan transportasi umum dengan menambah operasi bus regional (JR Connexion). “Pengendalian aktivitas saat adaptasi kebiasan baru menjadi kruisial dan urgent,” tukasnya.

Peran transportasi dalam penyebaran Covid-19, adalah memindahkan orang (carrier) dengan virus dari satu tempat ke tempat lain. Stasiun/terminal dan moda merupakan tempat berkumpul banyak orang secara bersama-sama dalam ruang yang sama dalam waktu tertentu, sehingga terjadinya interaksi fisik antara carrier dengan orang lain.

Jabodetabek sebagai wilayah teraglomerasi dengan kondisi pergerakannya lebih kurang 88 juta pergerakan/hari. Wilayah Jabodetabek dengan penduduk lebih dari 30 juta saling memiliki ketergantungan aktivitas ekonomi antar wilayah yang tinggi, dikarenakan hingga kini masih memiliki porsi lebih 20% pergerakan ekonomi nasional.

Terkait dengan aktivitas ekonomi yang tinggi, Djoko mengungkapkan, ada tantangan besar di sektor transportasi pada masa adaptasi menuju kebiasaan baru (pasca Penerapan PSBB Penuh). Yakni, penyelenggaraan transportasi berjalan dengan meminimalisasi resiko penularan dan penyebaran covid-19, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Salah satunya, kapasitas penumpang semua moda transportasi harus dikurangi agar dapat menegakkan physical distancing (jaga jarak). Dan ketika masyarakat Jabodetabek memilih kendaraan pribadi untuk menghindari angkutan umum, jalanan akan macet, karena prasarana jalan tak mungkin menampung lonjakan volume kendaraan.

Kekhawatiran warga menjauhi angkutan umum itu tidak hanya terjadi di kota-kota Indonesia, tetapi di semua negara juga mengalaminya. Hanya bedanya, kota-kota di manca negara layanan transportasi umum sudah bagus. Mudah meyakinkan warganya tetap menggunakan angkutan umum dengan menyediakan layanan tambahan untuk perjalanan jarak pendek (dari rumah ke stasiun dan dari stasiun ke kantor) dapat menggunakan sepeda dan berjalan kaki.

“Infrastruktut jaringan bersepeda dan berjalan kaki dibuat semakin bagus dan nyaman, di Indonesia baru ada beberapa Kota termasuk Jakarta tetapi belum didukung oleh peraturannya,” jelas Djoko.

Tingginya Prosentase Gaji Untuk Aktivitas Bertransportasi,

Sementara di negeri ini, penilaian Djoko, layanan angkutan first mile dan last mile belum terintegrasi dengan baik, sehingga dibutuhkan adanya bentuk layanan transportasi umum lain. Pasalnya, dari riset Bank Dunia rata-rata pengeluaran untuk transportasi berkisar 10-20% persen dari pendapatan, tergantung strata penghasilannya.

Lanjut dia, guna memenuhi mobilitas warga dan target Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), perlu diciptakan tiga bentuk layanan transportasi umum.

Pertama, buat kelompok berpenghasilan rendah (UMK) dan milenial muda berpendapatan kurang dari Rp 10 juta per bulan, menurut Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat itu perlu ditambahkan layanan Bus Jabodetabek Residential Connexion yang melayani semua kawasan perumahan dengan tarif subsidi.

Kedua, layanan Bus Jabodetabek Residential Connexion bersubsidi dapat diberikan bagi Kawasan perumahan kelas menengah dengan tarif kisaran (Rp 10 ribu - Rp 15 ribu), subsidi minimal (BEP)

Dan ketiga, layanan Bus Jabodetabek Residential Connexion tanpa subsidi (jasa angkutan bus sudah memperhitungkan margin) diberikan pada perumahan kelas menengah ke atas dengan tarif kisaran Rp 20 ribu – Rp 25 ribu.

Djoko menegaskan, dengan tambahan layanan bus tersebut, operasional KRL di akhir pekan dan hari libur tidak perlu mendapat subsidi (dihapuskan). Saran dia, anggaran subsidinya dialihkan ke sebagian operasional JR Connexion. Pengoperasian layanan JR Connexion merupakan bagian dari program BPTJ dalam meningkatkan moda share angkutan umum massal sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).

Strategi tersebut, ungkap pakar transportasi itu, diperlukan agar memenuhi target RITJ, sebagai salah satu Indikator Kinerja Utama BPTJ adalah pencapaian moda share angkutan umum massal sebesar 60% pada tahun 2029.

“Guna mencapai target tersebut, layanan Bus Jabodetabek Residential Connexion (JR Conn) dengan rute point to point menjadi salah satu bentuk inovasi untuk melayani penumpang dari kantong-kantong demand seperti permukiman menuju pusat perkotaan,” ujar Djoko.

Alangkah lebih bermakna, saran dia lagi, jika layanan Bus JR Connexion dilengkapi dengan fasilitas tempat sepeda di dalam bus. Dari rumah menggunakan sepeda menuju halte bus. Sepeda dinaikkan ke dalam bus. Setiba di tujuan, sepeda diturunkan dan kembali dikayuh menuju tempat bekerja.

Menurut dia, Pemda Bodetabek perlu mendukung adanya layanan Bus JR Connexion di wilayahnya. Bahkan, Pemda berupaya untuk mendapatkan bantuan Program Pembelian Layanan (Buy the Service/BTS) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan untuk merevitalisasi layanan angkot di daerahnya.

“Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek dapat menyelenggarakan program Buy the Service untuk pemda di wilayah Bodetabek,” ujarnya.

Dengan Program BTS, prediksi dia, pengusaha angkutan umum di daerah dapat bangkit kembali. Pengemudi sudah tidak dipusingkan dengan sistem setoran. Pengemudi mendapat gaji tetap bulanan, tanpa dipengaruhi jumlah penumpang yang diangkut.

“Pemda DKI Jakarta dan Bodetabek dapat terus meningkatkan fasilitas pesepeda di semua jaringan jalan untuk digunakan perjalanan jarak pendek,” tambahnya.

Transportasi Umum yang Sehat, Terpenting Jaga Jarak

Para ahli epidemiologi, yang terpenting dilakukan moda transportasi, adalah jaga jarak menjadi faktor yang paling signifikan dalam pencegahan penularan dan penyebaran covid-19. Namun dalam penyelenggaraan transportasi perkotaan di wilayah megapolitan seperti Jabodetabek, soal jaga jarak (physical distancing) bukan urusan yang mudah.

Penegakan protokol kesehatan seperti cuci tangan, penggunaan masker, pemeriksaan suhu tubuh, pembersihan sarana dan prasana transportasi secara rutin dengan disinfektan relatif dapat dilaksanakan dengan baik. Paling sulit menegakkan jaga jarak di dalam angkutan umum massal. “Diperlukan kebijakan komprehensif antar instansi untuk mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas di Jakarta,” ujar nya mengakhiri.

Pihak KCI Mengapresiasi Kinerja BPTJ Menyiakan Bus JR Conn

PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) senantiasa mengedepankan protokol kesehatan dalam memberikan layanan KRL Jabodetabek. Saat ini PT KCI tetap mengikuti berbagai pembatasan dan protokol yang ada terutama dari segi pembatasan penumpang, jaga jarak, dan kebersihan di tengah volume pengguna KRL yang terus meningkat.

Dalam catatan PT KCI sejak PSBB Transisi berlaku, jumlah pengguna KRL, di era adaptasi kebiasaan baru, volume pengguna KRL sekitar 400.000 orang per hari.

Diakui oleh VP Corcomm KCI, Anne Purba, pola perjalanannya masih terpusat pada jam-jam sibuk khusunya 06:00 - 08:00 pada pagi hari dan 17:00 - 19:00 di sore hari. Dengan konsentrasi pada jam - jam ini, kapasitas tiap kereta sudah sangat maksimal mengingat adanya pembatasan jumlah pengguna yaitu 74 orang per kereta.

“Antrean penumpang KRL di stasiun pun biasanya sudah mencapai zona terluar di tiap-tiap stasiun yang menjadi titik keberangkatan pengguna,” jelasnya.

Untuk itu Anne menghimbau para pengguna untuk sebisa mungkin menghindari bepergian dengan KRL di jam-jam sibuk ini. Jika harus bekerja, KCI kembali mengajak semua pihak untuk mengikuti pembagian jam kerja secara bertahap atau shift sesuai arahan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional.

“Agar para pengguna dapat terhindar dari antrean dan kepadatan yang ada, dengan menghindari berpergian pada jam-jam sibuk. Pergerakan pengguna secara keseluruhan juga akan lebih lancar karena terbagi secara merata dalam beberapa jam,” jelasnya.

Meskipun mulai kembali beraktivitas, Anne mengingatkan para pemangku kepentingan khususnya operator / petugas KRL dan pengguna agar displin mematuhi protokol kesehatan - terutama yang tersulit menjaga jarak di masa pandemi ini sangat penting dalam mencegah penularan Covid-19.

“Pihak KCI sangat mengapresiasi kerja BPTJ dan Pemda, yang berkenan menyiapkan layanan angkutan umum lain – bus JR Connexion guna menampung / mencegah luapan penumpang KRL di jam-jam padat penumpang,” ujarnya. (IS/AS)