Kemajuan teknologi menjadi hal yang tak dapat terelakan. Setiap orang pun pasti memiliki smartphone yang dapat dengan mudahnya menghubungkan mereka ke dunia internet atau digital. Ini memicu munculnya anak muda kreatif untuk membangun perusahaan start up dengan basis aplikasi.

Angkutan online menjadi salah satu dari sekian start up yang booming beberapa tahun terakhir ini. Pengguna aplikasi angkutan online jumlahnya tidaklah sedikit. Mereka menyambut baik keberadaan angkutan ini karena memiliki harga yang lebih dibanding angkutan umum yang sudah ada terlebih dahulu. Namun, keberadaan angkutan online ini menimbulkan polemik di masyarakat.

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai regulator mengatur angkutan online ini dengan Peraturan Menteri (PM) 32 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Peraturan ini kemudian direvisi dan lahirlah PM 26 Tahun 2017, akan tetapi lagi-lagi peraturan ini kembali direvisi.

Kemenhub merevisi PM 26 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek selepas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut 14 Pasal atau sembilan substansi. Sembilan substansi ini adalah argometer taksi, tarif, wilayah operasi, kuota, persyaratan minimal lima kendaraan, bukti kepemilikan kendaraan bermotor, domisili TNKB, Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT), dan peran aplikator.

Sosialisasi dan Focus Group Discoussion (FGD) giat dilakukan Kemenhub agar pihak-pihak yang bersangkutan dapat memahami, menaati, dan melaksanakan peraturan ini dengan penuh tanggung jawab. Tak dapat dipungkiri revisi PM 26 Tahun 2017 ini menuai reaksi dan opini dari berbagai kalangan seperti pengamat transportasi, pengemudi taksi online, Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda), dan Asosiasi Driver Online (ADO).

Sekretaris Jenderal Kemenhub Sugihardjo menyebutkan Kemenhub berada di posisi tengah antara taksi reguler dan taksi online. Ia juga menegaskan Kemenhub tidak berat sebelah atau berpihak pada salah satu diantaranya. Beliau berharap peraturan ini dapat diterima oleh semua pihak karena revisi ini sudah melewati proses diskusi dan pembahasan yang panjang.

“Dalam draft revisi yang disusun telah banyak hal yang disepakati, tetapi ada juga hal-hal yang belum diterima, baik oleh taksi reguler maupun taksi online. Ini mencerminkan Pemerintah dalam hal ini Kemenhub ketika merumuskan peraturan ini berdiri di tengah. Yang menjadi fokus pengaturan ini adalah kepentingan masyarakat,” kata Sekretaris Jenderal Kemenhub Sugihardjo.

Pengamat transportasi Darmaningtyas mencermati selama ini Peraturan Menteri hanya mengatur kendaraan roda empat saja, tapi tidak mengatur kendaraan roda dua. Ia pun mengungkapkan menolak sepeda motor digunakan sebagai angkutan umum.

“Saya konsisten akan menolak sepeda motor menjadi sarana angkutan umum. Masa kita kalah dengan Vietnam. Vietnam itu sudah menargetkan tahun 2025 kota Ho Chi Min tidak ada lagi sepeda motor,” ujar Darmaningtyas.

Perbaikan sarana dan prasarana angkutan umum menjadi agenda yang perlu diupayakan apabila ingin mengikuti jejak Vietnam. Selamat, aman, nyaman, terjangkau, dan tepat waktu menjadi kriteria yang membuat masyarakat mau memilih angkutan umum.

Darmaningtyas menyayangkan kota yang serius menangani soal angkutan umum itu baru DKI Jakarta saja, sedangkan di daerah belum. Ini saatnya untuk merefleksikan kebijakan-kebijakan transportasi yang harus lebih berpijak kepada angkutan umum, pejalan kaki, dan pesepeda.

“Ini saya kira menjadi kesempatan yang baik untuk melakukan penataan transportasi umum,” lanjutnya.

Harga Tidak Seimbang Jadi Sumber Masalah

Darmaningtyas mengatakan permasalahan peraturan ini bukanlah pada perdebatan online dan reguler, melainkan persaingan harga yang tidak imbang. Menurutnya hal inilah yang seharusnya jadi perhatian Pemerintah yaitu untuk mewujudkan persaingan yang seimbang dan sehat. Persaingan harga yang terjadi ini tidak adil karena salah satu terikat dengan berbagai macam regulasi, sedangkan yang lainnya bebas saja.

Persaingan harga ini juga dapat memberi dampak bagi keselamatan pengguna jasa. Demi mendapatkan pemasukan yang cukup, para pengemudi taksi online rela bekerja selama 24 jam. Ini tentunya membahayakan keselamatan pengguna jasa dan tidak ada yang mengontrol mengenai hal tersebut.

Ia menyebutkan tarif batas bawah perlu diatur karena kalau tarif batas bawah itu tidak ada, maka tidak dapat diketahui tarif tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis atau subsidi. Ketika taksi reguler mengalami penurunan dan taksi online tidak akan menaikan tarif.

Masyarakat pun sekarang ini tampaknya euforia sebab tarifnya murah, akan tetapi tidak dipertimbangkan bagaimanan nantinya. Menurutnya, Pemerintah harus bertindak tegas. Kalau taksi online ingin tetap beroperasi, maka harus mau mengikuti peraturan yang ada. Apabila Pemerintah tidak tegas, dapat berujung pada kekisruhan yang akan merugikan banyak pihak.

“Uber, Grab, GoCar berdiri karena modal yang besar. Modal yang besar itu digelontorkan dengan harapan akan memperoleh keuntungan. Cara meraihnya bagaimana? Kalau sekarang harga dibanting nanti ada peluang untuk meraih keuntungan. Indonesia sebagai negara yang memilik peluang pasar yang besar seharusnya dapat lebih tegas. Ingin ikut aturan atau pergi,” ujar Darmaningtyas.