(Medan, 30/8/2013) Akses dari Kota Medan atau daerah sekitarnya menuju Bandara Kualanamu dan sebaliknya tidak mungkin hanya mengandalkan kereta api. Pemerintah memang harus mengoptimalkan kereta api dengan meningkatkan frekwensi dan kapasitas moda kereta api menuju bandara kedua terbesar di Indonesia tersebut, namun juga tetap harus mengembangkan akses moda angkutan umum massal lainnya.  Pernyataan tersebut disampaikan Pelaksana Tugas Kepala Badan Litbang Perhubungan Wendy Aritenang, pada acara Focus Group Discussion “Intregated Public Transport Facilities (case study Kualanamu Airport)” yang diselenggarakan Badan Litbang Perhubungan, Jum’at 30/8/2013 di Medan.

 
Menurut Wendy, kereta api tidak mungkin mengambil porsi mengangkut penumpang ke ke bandara Kualanamu sampai 50 %, meskipun kapasitasnya ditingkatkan seoptimal mungkin. “Di negara manapun di dunia ini tidak ada angkutan ke bandar udara dengan hanya mengandalkan kereta api sebagai sarana utama, pasti ada jenis moda angkutan lain yang dipadukan, di Korea misalnya mereka juga mengandalkan limousine bus,” kata Wendy.
 
Thomas G Jin, peneliti dari Institut Transportasi Korea (KOTI)  yang menjadi salah satu narasumber acara tersebut membenarkan, bahwa angkutan massal berbasis jalan (limousine bus) menyumbang porsi terbesar mengangkut penumpang dari dan menuju Bandar Udara Internasional Incheon di negerinya Korea Selatan. Menurut Jin angkutan massal bus ini di Bandara Incheon menyumbang porsi sekitar 55 %  untuk mengangkut penumpang sementara sisanya terbagi oleh moda lain.
 
Menurut Jin yang terpenting sebetulnya harus disusun sebuah konsep keterpaduan antar moda sehingga masyarakat mendapatkan kemudahan untuk menjangku sarana transportasi dari berbagai tempat, menuju bandar udara. Selain itu keterpaduan moda ini tidak hanya berfungsi memudahkan masyarakat menjangkau bandar udara namun juga memberikan kontribusi mengembankan wilayah dan perekonomian setempat. Sistem angkutan umum yang terintregasi dengan baik harus secara langsung memberikan dampak positif pada aktifitas perekenomian masyarakat, ramah lingkungan dan menjadi bagian dari pembangunan yang berkelanjutan.
 
Untuk mewujudkan system angkutan umum semacam itu Jin menyarankan perlunya merujuk pada konsep Transit Oriented Development (TOD). Konsep TOD sebenarnya dikenalkan pertama kali oleh Peter Calthorpe, ahli transportasi dari Amerika pada tahun 1993. Korea Selatan telah mencoba menerapkan konsep ini untuk membangun transportasi di negerinya. Dengan berbagai pengembangan, implementasi konsep ini di Korea Selatan menurut Jin telah berhasil mewujudkan system transportasi yang tidak hanya mampu mengatasi permasalahan transportasi namun juga secara langsung mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan perekonomian masyarakat setempat.
 
Sementara itu Sri Hendarto, narasumber dari Insititut Teknologi Bandung menegaskan, kehadiran Bandar Udara Kualanamu berpotensi menimbulkan permasalahan kemacetan baru di wilayah-wilayah kota Medan dan sekitarnya. Saat ini kota Medan sudah banyak memiliki titik-titik kemacetan, yang apabila tidak ada langkah-langkah terobosan justru keberadaan Bandara Kualanamu akan menimbulkan kemacetan lalu-lintas jalan yang semakin parah, karena adanya akfitias pergerakan dari dan ke Bandara Kualanamu yang tidak didukung system transportasi massal yang baik.
Untuk itu Hendarto menyarankan perlunya segera dibangun system transpoirtasi antar moda yang terpadu yang dapat mendukung mobilitas dari dan ke Bandara Kualanamu. Pembangunan system transportasi antar moda yang terpadu ini tetap harus memperhitungkan aspek demand dan supply, serta berbagai karakteristik yang diharapkan mampu mendorong masyarakat menggunakannya. (BRD)