Untuk itu Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Perhubungan berencana mengubah pola pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta utara. Salah satu pola baru yang akan diterapkan adalah dengan menghilangkan kewajiban tinggal di asrama bagi taruna tingkat II dan III, selama menjalani pendidikan. Taruna akan ditarik kembali masuk asrama setelah memasuki tingkat IV. "Jadi, ke depan, yang wajib tinggal di asrama hanya taruna-taruna tingkat I dan tingkat IV saja," ujar Kepala Badan Diklat Dedi Darmawan di kantornya, Jumat (16/5).

Penerapan pola baru tersebut, kata Dedi, merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan ’tradisi’ kekerasan antara taruna senior terhadap taruna junior. Kebijakan baru ini sendiri, imbuhnya, tidak hanya akan diberlakukan di STIP. Tetapi juga akan diterapkan di sekolah tinggi kejuruan lain yang berada di bawah pengawasan lembaganya. Kebijakan baru ini akan diberlakukan mulai tahun akademik baru yang jatuh pada September 2008 mendatang.

Sebelumnya, beberapa waktu lalu, insiden serupa juga pernah terjadi di Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) di Bekasi, Jawa Barat. Untuk menyikapi itu, kata Dedi, pihaknya juga telah mengeluarkan kebijakan agar peristiwa serupa tak terulang. Dedi sendiri tidak memungkiri bahwa aksi kekerasan taruna senior terhadap junior di STIP telah berlangsung sejak lama. Informasi yang diperoleh berdasarkan penulusuran tim penyelidik yang diutusnya, membenarkan hal itu. "Tetapi tidak pernah ketahuan, dan baru ketahuan sekarang setelah kematian Agung. Karena itu, butuh strategi khusus untuk menghapuskannya," katanya.

Selain akan me-non-asramakan taruna tingkat II dan III, Dedi menambahkan, dia juga akan menerapkan strategi lain. Yaitu mengubah pola pengajaran pada kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler dan lainnya, dengan tidak lagi mengizinkan taruna senior maupun taruna alumni untuk terlibat apalagi menjadi instruktur. Sebagai pengganti, pihaknya akan melibatkan bantuan instruktur profesional yang tidak memiliki ikatan emosional langsung dengan para taruna pelajar.
"Mau latihan baris-berbaris, drum band, pedang pora atau apa pun, instrukturnya harus dari luar tidak akan lagi dilatih oleh senior atau alumni. Kita akan cari instruktur profesional, misalnya instruktur dari tentara" tegasnya. Sebelum menerapkan pola baru ini, imbuhnya, pihaknya akan meminta pendapat dan masukan dari berbagai pihak, termasuk pula orang tua siswa. "Kita juga akan minta petunjuk dan arahan Pak Menteri (Perhubungan)."

Ditegaskannya, pemberian pelajaran fisik seperti itu sendiri dinilai perlu untuk meningkatkan kedisiplinan dan kesamaptaan para taruna sebelum terjun ke lapangan. "Tetapi, dengan cara yang benar, tidak seperti ini. Kalau dengan kekerasan tidak akan mendidik, tetapi hanya akan memunculkan tradisi dendam yang merusak sistem pendidikan itu sendiri," pungkasnya.

Dedi juga mengungkapkan, dirinya sangat mendukung upaya penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap kasus tewasnya taruna STIP, Agung Bastian Gultom, hingga tuntas. Bahkan, ketika ada taruna yang terbukti terlibat dan harus diproses secara hukum, pihaknya juga tidak akan menghalang-halangi.
"Saya sangat setuju polisi melakukan penyelidikan ini hingga tuntas dan menindak pelakunya. Ini bagus, untuk shock therapy dan menjadi tonggak untuk mengubah paradigma lama yang tidak mendidik itu. Sekarang, sudah bukan zamannya lagi kekerasan di sekolah atau dalam asrama, karena itu akan kita upayakan semaksimal mungkin untuk menghilangkannya," ujar Dedi.

Kerjasama Dengan PTN
Terkait upaya untuk menciptakan paradigma baru itu pula, lanjut Dedi, Badan Diklat juga telah merancang program pendidikan baru dengan menggandeng sejumlah sekolah tinggi dan universitas terkemuka di Indonesia seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Teknologi Surabaya (ITS).

Program-program tersebut adalah Officer Plus (OP) 60 untuk bidang kepelautan, Praja 60 untuk bidang transportasi darat, dan Aircraft Inspector Plus (AIP) 60 untuk sektor udara. Program ini, jelasnya, akan melibatkan para lulusan SLTA terpilih yang memiliki nilai sempurna sebagai siswa. Untuk program OP 60, Badan Diklat akan bekerja sama dengan ITS, Praja 60 dengan UGM, dan AIP 60 dengan ITB.

Selama menjalani program pendidikan khusus, papar Dedi, para siswa yang telah lebih dahulu diberi status kepegawaian di Departemen Perhubungan tersebut, tidak hanya akan dijejali dengan pendidikan-pendidikan dari kurikulum yan selama ini telah diterapkan. "Tetapi akan di-mix dengan ’soft skill’, ilmu-ilmu khusus lain di bidang manajerial, leadership, negosiasi, bahasa inggris dan lainnya yang sebelumnya tidak pernah ada. Setelah lulus, mereka berhak mendapatkan status golongan IIIA," katanya.

"Harapannya, suatu saat nanti, Dephub akan di-running oleh orang-orang profesional yang sangat kompeten di bidangnya masing-masing. Orang-orang yang piawai sebagai tenaga operasional dan mampu menyusun kebijakan-kebijakan yang matang di masing-masing bidang," tandasnya. (DIP)