Demikian ditegaskan Direktur Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan Wendy Aritenang Yazid dalam jumpa pers di kantornya, Jumat (18/7). "Mekanismenya memang demikian. Tender untuk menentukan perusahaan yang akan melaksanakan proyek tersebut, wajib dilakukan. Ini proyek investasi, bukan pengadaan, acuannya berbeda," terang Wendy.

Diungkapkan, hal itu dapat dilihat pada proyek pembangunan kereta api bandara Soekarno-Hatta. Proyek tersebut diinisasi oleh PT Railink yang merupakan perusahaan patungan antara PT Angkasa Pura II dan PT Kereta Api. "Jadi, sekalipun perusahaan itu merupakan anak perusahaan BUMN dan telah mengerjakan persiapan proyek sejak 2006, namun proyek itu tetap akan dilelang. PT Railink sendiri telah memastikan akan ikut lelang tersebut," ujarnya. Namun, lanjut Wendy, kepada pihak swasta yang menjadi inisiator atas rencana kerja tersebut diberikan hak preferensi sebesar 10 persen dari nilai penawaran yang diajukan. Karena, perusahaan itu wajib melakukan studi kelayakan terlebih dahulu terhadap rencana pembangunan yang akan diajukannya agar disetujui pemerintah.

Nilai preferensi tersebut nantinya akan diakumulasikan dengan nilai penawaran yang diajukan perusahaan terkait, tatkala proses lelang dilakukan. Nilai preferensi ini sendiri bisa dikatakan sebagai modal tambahan bagi perusahaan swasta pengusung ide atas apa yang telah dilakukannya.

Sebagai contoh, perusahaan yang menjadi pencetus ide mengusulkan sebuah rencana pembangunan yang nilai pembangunannya mencapai Rp 100 miliar. Kemudian, dalam proses lelang, perusahaan tersebut membuka penawaran sebesar Rp 75 miliar. Dengan penambahan preferensi 10 persen tersebut, maka secara otomatis nilai penawarannya itu akan meningkat menjadi Rp 82,5 miliar.

"Jadi, ketika ada perusahaan peserta lelang lain yang mengajukan penawaran Rp 80 miliar, maka perusahaan pengaju usulan itulah yang akan menang," jelas Wendy.

Ditambahkan, bila dalam proses lelang pesertanya hanya satu, yaitu pihak swasta penginisiasi proyek, maka prosedur pelelangan akan mengikuti pengaturan dalam regulasi. Di antaranya adalah melakukan negosiasi terhadap peserta tunggal yang akan ditunjuk untuk mengerjakan tersebut. "Agar proyek itu tetap menguntungkan negara," ujarnya.

Wendy menjelaskan, minat swasta pada angkutan perkeretaapian sangat tinggi, terutama di Sumatera Selatan dan Kalimantan. Saat ini, menurutnya, sejumlah investor swasta sedang melakukan studi untuk pembangunan prasarana angkutan batubara di kedua wilayah.

Nippon Koei, Pathway Internasional dan Ras Al Khaimah, adalah sejumlah perusahaan swasta yang telah menyatakan minatnya untuk mengerjakan pembangunan proyek-proyek tersebut. Nilai investasi per proyek rata-rata berkisar antara Rp 8 triliun- Rp 12 triliun. "Sejumlah usulan-usulan di antaranya sudah disetujui Dephub, tinggal melaksanakan proses pelelangannya," ujarnya. (DIP)