Pernyataan itu disampaikan Menhub dalam sambutannya pada rapat kerja membahas draf RUU LLAJ dengan fraksi-fraksi di Komisi V DPR, Kamis (5/2). keberadaan Menhub dalam raker tersebut adalah sebagai wakil pemerintah bersama Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta. Dipaparkan Menhub, RUU LLAJ disusun pemerintah untuk memperbaiki, meningkatkan dan menyempurnakan sistem yang ada saat ini untuk menghadapi setiap tantangan dan persoalan- persoalan di sektor transportasi yang semakin berat pada masa mendatang.

Ada beberapa sasaran pokok yang diincar pemerintah melalui rancangan undang-undang yang merevisi UU LLAJ No. 14/1992 tersebut. Antara lain, regulasi baru ini akan dapat dijadikan landasan yang kokoh dalam penyelenggaraan transportasi jalan. Selain itu, diharapkan pula dapat menciptakan iklim yang kondusif dalam rangka meningkatkan pengembangan angkutan jalan. Target lain dari penyusunan RUU LLAJ adalah, ”Meningkatkan peran swasta dalam pembangunan dan pengelolaan transportasi jalan,” ungkap Menhub. Di sisi lain, RUU ini juga diharapkan mampu meningkatkan upaya penegakkan hukum (law enforcement) serta mengharmonisasikannya dengan perkembangan ketentuan internasional.

Selain itu, UU revisi ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam rangka pelestarian lingkungan hidup, juga meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam rangka mewujudkan ketatalaksanaan pemerintah yang baik. Ditegaskan Mehub, sasaran-sasaran tersebut menjadi dasar dalam membuat kerangka dan alur pikir dalam menyusun RUU LLAJ. Kerangka dan alur pikir itu dimulai dengan mengatur ketentuan umum, asas dan tujuan, sistem transportasi jalan, pembinaan, prasarana, kendaraan, pengemudi, lalu lintas, angkutan, peran masyarakat, serta perlakuan khusus bagi penyandang cacat, dampak lingkungan, penyidikan dan ketentuan pidana. ”Dengan kerangka dan alur pikir tersebut, maka dalam RUU LLAJ materinya berubah. Yaitu dari yang semula hanya terdiri dari 16 bab dan 74 pasal, menjadi 17 bab dan 190 pasal,” papar Menhub.

Dalam sambutan tersebut, Menhub tak sedikitpun menyinggung tentang pengalihan kewenangan registrasi kendaraan maupun pengelolaan proses penerbitan SIM dan STNK yang selama ini dilakukan Polri. Adapun yang disampaikan Menhub terkait hal tersebut adalah, SIM diterbitkan oleh unit pelaksana penerbit yang ditunjuk oleh pemerintah. ”Sebagaimana yang berlaku selama ini, dengan merujuk pada ketentuan dan implementasi UU No. 14/1992 tentang LLAJ,” jelas Menhub.

Ditemui terpisah usai raker, Kepala Pusat Komunikasi Publik Dephub Bambang S Ervan kembali menegaskan bahwa substansi penyusunan RUU LLAJ tidaklah tertuju pada pengelolaan dan penerbitan SIM yang selama ini ditangani Polri.

”Yang perlu diketahui bersama adalah, RUU ini bukan milik Dephub atau dibuat untuk kepentingan Dephub. RUU ini milik pemerintah, yang dibuat tidak khusus untuk Dephub atau lembaga tertentu lainnya. RUU ini dibuat untuk kepentingan masyarakat, kepentingan nasional. Ini kaitannya dengan sistem transportasi nasional secara luas, bukan hanya terkait pada satu masalah saja,” tegas Bambang.

Untuk diketahui, pada dasarnya Rancangan Undang-Undang lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUU LLAJ) merupakan perbaikan dari Undang-Undang lalu LIntas nomor 14 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1993. Dalam penyusunannya, RUU LLAJ juga sudah dikoordinasikan dengan pihak terkait di bidang LLAJ, termasuk Polri. Pembahasan RUU ini sejak awal selalu dihadiri dari pihak Mabes Polri. ”Jadi tidak benar kalau RUU LLAJ dikatakan dibuat tanpa koordinasi apalagi tanpa melibatkan Polri,” kata Bambang.

Dalam RUU itu sendiri itu tidak disebutkan pihak mana yang berwenang untuk melakukan peregistrasian kendaraan maupun proses penerbitan SIM. Kewenangan untuk menentukan pihak mana yang dianggap layak untuk mengurusinya berada di tangan Presiden, yang akan didelegasikan melalui Peraturan Pemerintah sebagaimana halnya yang tertuang dalam UU No.14 /1992. (DIP)