”Kita harapkan (kasus ini) segera selesai, karena kalau pesawat itu tidak jadi datang, ya, Merpati akan kehilangan kesempatan melayani jalur perintis itu,” kata Menhub.  Menhub mengakui, bagi Merpati sendiri wilayah Indonesia timur merupakan orientasi utama yang menjadi ujung tombak perusahaan untuk mendulang pemasukan dan bertahan hidup. ”Kalau Merpati tidak sanggup, ya, akan diserahkan kepada swasta. Karena jalur itu tidak mungkin menunggu atau dibiarkan kosong,” papar Menhub.

Hingga kini polemik antara PT Merpati Nusantara dan perusahaan perakit pesawat asal China, Xian Aircraft Industry Co. Ltd, terkait pengadaan 15 unit pesawat MA-60 yang disiapkan untuk melayani jalur-jalur penerbangan perintis belum juga usai. Pengadaan MA-60 bermula dari keinginan Merpati memiliki pesawat komuter propeler berkapasitas 50 penumpang yang bisa menjangkau 200 kabupaten, terutama di Indonesia timur. Pesawat yang merupakan realisasi dari kerjasama antar negara (G to G) ini dibeli untuk menggantikan armada lama Merpati, seperti Fokker-27 dan CN-235, yang sudah tua. Rute-rute yang akan diremajakan itu di antaranya adalah rute-rute komuter di Bali-Nusa Tenggara Timur dan Barat, yang selama ini dilayani oleh dua Fokker 27. Sedangkan kedua fokker itu sendiri akan segera dijual oleh Merpati.

Manajemen Merpati, yang saat itu dipimpin Direktur Utama Hotasi Nababan, menandatangani kontrak jual-beli pesawat dengan Xian. Merpati setuju membeli 15 MA-60 senilai USD 232,4 juta atau sekitar Rp 2 triliun pada 7 Juni 2006. Sebagai bagian dari transaksi, Merpati terlebih dulu menyewa dua MA-60 selama 24 bulan sejak 30 Januari 2007, dengan harga sewa USD 70 ribu per bulan per unit.

Hingga akhirnya, muncullah polemik ini. Yaitu ketika penantangangan perjanjian pinjaman antara Bank Exim Cina (The Export-Import Bank of China) dan Departemen Keuangan yang menjadi fasilitator pembiayaan pembelian pesawat itu dilakukan. Karena pinjaman Bank Exim Cina diberikan kepada pemerintah Indonesia, Merpati harus menandatangani perjanjian penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement) dengan Departemen Keuangan agar bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan pembelian pesawat itu.

Xian menganggap bahwa transaksi pembelian MA-60 sudah efektif setelah Bank Exim Cina dan Departemen Keuangan menandatangani perjanjian pinjaman. Xian pun lantas mendesak Merpati segera menerima 13 unit MA-60. Namun karena belum menandatangani perjanjian penerusan pinjaman dengan Departemen Keuangan, Merpati menolak dan menganggap transaksi belum efektif.

”Untuk menjadikan efektif, Merpati mengatakan itu sesuai angaran yang dimilikinya. Karena itu, mereka minta apakah boleh dari 15 itu dikurangi menjadi tujuh saja. Tapi China bilang tidak bisa, tetap 15. Di sinilah masalahnya. Ini yang harus dicarikan titik temunya,” jelas Menhub.

Pencarian solusi tersebut tak hanya menjadi sangat penting bagi Merpati. Tetapi juga bagi Pemerintah Indonesia. Sebab ketika nanti Merpati tidak bisa melakukan pembayaran, maka pemerintah Indonesia yang akan menanggung.

Menhub menambahkan, Kedutaan Besar China dan pemerintah Indonesia saat ini telah membuat tim negosiator untuk memfasilitasi permasalahan ini. ”Dubes Cina bilang, masih ada jalan. Pada prinsipnya kita hormati kontrak kalau sudah ditandatangani, tapi tidak membuat merpatinya bangkrut. Kalau sudah gak ada lagi, ya pergi ke IPTN,” pungkas Menhub sambil berseloroh.

Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Perusahaan Merpati Sukandi mengatakan, pihaknya berharap masih bisa melayani rute-rute perintis yang dialokasikan pemerintah tanpa terpengaruh kasus MA-60 ini. ”Kami berharap Dephub masih memberikan kesempatan dan Merpati juga masih memenuhi persyaratan untuk itu,” katanya. (DIP)