Direktur Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan Budhi Mulyawan Suyitno, sebelum mengikui rapat paripurna di gedung DPR-RI mengatakan, Asosiasi Penerbangan Internasional (International Air Transport Association/IATA), telah menyetujui rencana tersebut, dengan catatan IATA meminta Indonesia meningkatkan sistem layanan navigasi minimal setara dengan Australia. "En-route charge selama ini terlalu murah dan sudah sepuluh tahun belum naik," ujarnya.

Budhi menambahkan, saat ini Dephub tengah menggodok konsep penyempurnaan sistem layanan navigasi penerbangan untuk mengimbangi penerapan tarif baru tersebut. Dengan demikian, diperkirakan, tiga tahun lagi kebijakan tersebut baru bisa direalisasikan. "Peningkatan (layanan navigasi) itu meliputi komunikasi antara pesawat dan pemantauan kapasitas pesawat, atau separasi di suatu ruang udara (airways). Ini untuk mengurangi titik-titik kemacetan lalu lintas udara Indonesia," papar Budhi. Untuk keperluan tersebut, Dephub akan memasang 30 infrastruktur sistem navigasi Automatic Dependendent Surveilance Broadcast (ADS-B). "Setelah semua terpasang, baru kemudian diintegrasikan dengan radar-radar existing. Saat ini, baru 5 ADS-B yang sudah terpasang sejak tahun lalu dan kita dapat penghargaan internasional atas itu," lanjutnya.

Budhi menjamin, kenaikan tarif lintas udara tersebut tidak akan memicu kenaikan tarif pesawat untuk penumpang. Sebab, menurutnya, peningkatan layanan navigasi itu sendiri kan memperlancar lalu lintas udara. "Sehingga operasi pesawat menjadi efisien." Di lain sisi, pemerintah sendiri akan dapat meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor penerbangan, dengan banyaknya pesawat yang melintasi udara Indonesia setiap tahunnya. "Negara lain yang rute penerbangannya hanya separuh dari kita, bisa memperoleh hingga USD 750 juta per tahun dari en-route charge," kata Budhi mengakhiri perbincangan dengan wartawan. (DIP)