"Persaingan sudah di depan mata," ujar Direktur Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan Budhi Mulyawan Suyinto, dalam pemaparan pada Sosialisasi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara di Kantor Dephub, Jakarta, Rabu (23/7).

Budhi, dalam acara yang dihadiri ratusan perwakilan operator penerbangan sipil nasional itu mengungkapkan, industri jasa penerbangan sipil nasional yang terus tumbuh saat ini masih belum mampu menunjukkan performa yang optimal untuk bersaing dengan maskapai raksasa asing. "Khususnya maskapai negara-negara tetangga sekitar kita," ujarnya.

KM 25/2008 sebagai pengganti aturan lama (KM 81/2004), menurut Budhi, merupakan jawaban atas perkembangan terkini udara nasional. Regulasi baru ini merupakan elaborasi dari grand policy pemerintah, Road Map to Zero Accident, yang kemudian dikerucutkan operasionalnya melalui program Safety, Security, dan Service trough Compliances (3S+1C). Di mana sasaran dari program tersebut adalah terselenggaranya pelayanan yang andal dengan mengutamakan faktor selamat, kenyamanan dan kelancaran.

Regulasi ini juga, kata Budhi, menitikberatkan upaya menciptakan sisi kepatuhan pelayanan sesuai hak dan kewajibannya. "Peraturan ini juga untuk menyambut persaingan terbuka jasa penerbangan di masa depan," tegasnya kembali, seraya menegaskan bahwa diharapkan dengan adanya aturan baru tersebut, maskapai Indonesia tidak hanya menjadi pendamping dan menonton maskapai asing berseliweran di negeri sendiri. "Itu pasti akan terjadi jika tidak diantisipasi sejak awal," imbuhnya.

Karena itulah maskapai ditegaskan untuk menaati dan mengimplementasikan seluruh isi KM 25/2008 yang ditetapkan pada 25 Juni 2008 tersebut secara optimal. Aturan tersebut, kata Budhi, tidak memberikan sedikit pun toleransi kepada maskapai yang lalai, terutama terkait masalah safety dan pelayanan.

"Mau atau tidak mau, bisa atau tidak bisa, ya, harus bisa. Terdengar kejam, memang. Tetapi memang begitulah aturannya. Kalau tidak mau ikut aturan, ya, jangan berbisnis maskapai. Jadi operator memang harus siap lahir bathin," tegasnya.

Industri penerbangan, kata Budhi, merupakan bisnis yang tak hanya sarat dengan modal. Bisnis ini juga sangat sarat dengan regulasi, risiko, sarat teknologi, dan sarat patuh, sehingga "key person" dari manajemen penerbangan sipil juga diwajibkan sebagai pemegang sertifikat manajemen transportasi udara (Air Transport Management).

"Menjalankan bisnis penerbangan bukanlah perkara mudah dan tidak mungkin dikelola secara amatiran. Pemenuhan multisarat tersebut harus benar-benar dijiwai oleh manajemen dengan profesionalisme tinggi," lanjutnya.

Salah satu contoh ketegasan yang dimuat dalam KM 25/2008, antara lain apabila maskapai dalam tempo 12 bulan mengalami dua kali kecelakaan serius (fatal accident) dan hasil investigasi lembaga berwenang menyatakan bahwa kecelakaan itu disebabkan kelalaian manajemen, maka menajemen dan key person terkait akan dikenakan status persona nongrata dalam menjalankan penerbangan selanjutnya.

"Zero accident menuntut tidak ada kompromi bagi suatu kelalaian, apalagi kalau dilakukan dengan kesadaran penuh," tegas Budhi.


Timbal-Balik Pemerintah


Untuk menghadapi ketatnya persaingan ke depan, maskapai nasional juga dituntut untuk meningkatkan konsolidasi serta memperkuat diri. Bahkan, jika diperlukan, disarankan untuk melakukan fusi (merger) dengan maskapai lain, terutama maskapai yang kemampuan dan kapasitasnya terbatas. "Menghadapi giant company dimutlakkan fokus, karena persaingan tebuka berarti kompetisi penuh," papar Budhi.

Risiko yang akan dialami maskapai yang lamban berkonsolidasi dan tidak cepat melakukan pembenahan diri, kata Budhi, lambat laun akan gugur dengan sendirinya dan hengkang dari bisnis penerbangan akibat tergilas persaingan yang tajam. "Seiring dengan itu, secara bertahap tapi pasti, akan muncul beberapa pemain andal. Yaitu maskapai terseleksi yang siap bersaing sesuai dengan pilihan dan klasifikasinya."

Departemen Perhubungan, lanjut Budhi, akan tetap mengedepankan kepentingan nasional dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Komitmen tersebut tecermin dalam azas cabotage, resiprokal, dan keseimbangan manfaat secara komprehensif (comprehensive advantage equlibrium) yang dikaitkan dengan keunggulan geografis dan potensi demand di Indonesia dibanding negara-negara di kawasan Asean.

Seagai konsekuensi timbal-balik, pihak pemerintah dan segenap stakeholder juga harus melakukan pembenahan diri dan mengubah paradigma. Antara lain dengan menyiapkan sarana dan prasarana transportasi udara seiring dengan tumbuhnya angkutan udara, yang juga mutlak diperlukan untuk mendukung peningkatan kinerja jasa penerbangan nasional.

Budhi kemudian memaparkan sejumlah pokok-pokok yang dimuat dalam KM 25/2008. Antara lain melakukan simplifikasi proses dan persyaratan izin usaha bagi perusahaan penerbangan baru, yang menjunjung konsep easy in dan easy out. "Tidak lagi berbelit-belit," jelasnya. (DIP)