”Itu sama sekali tidak benar. Mereka (JPU dan Kepolisian) mungkin mencari celah informasi dari laporan final kiga yang ada di internet,” ujar Ketua KNKT Tatang Kurniadi. ”Seharusnya itu pun tidak dilakukan untuk bahan proses judicial,” sambungnya.

APG yang didukung Federasi Pilot Indonesia (FPI), Asosiasi Pengatur Lalu Lintas Udara Indonesia (Indonesia Air Traffic Controller Association/IATCA) dan Ikatan Teknisi Pesawat Indonesia (ITPI) secara bersama-sama mengeluarkan pernyataan resmi yang memojokkan KNKT tersebut dalam sebuah jumpa pers di Jakarta, pada Jumat (27/2).

KNKT, menurut Tatang, tidak mungkin menghianati ketentuan dalam Annex 13 Internasional Civil Aviation Organization (ICAO). . Yakni di mana data penerbangan (Flight Data Recorder/FDR dan Cockpit Voice Recorder/CVR) beserta personelnya, yang keberadaan, keterangan serta pernyataannya hanya boleh digunakan untuk meningkatkan keselamatan penrbangan dan mencegah terulangnya kejadian dengan penyebab yang sama.

”Buktinya waktu kita diminta menjadi saksi dalam persidangan kasus itu, kita menolak,” tegasnya.

Senada dengan Ketua KNKT, Juru Bicara KNKT J.A. Barata menambahkan, pihaknya tidak pernah memberikan data penerbangan pesawat B737-400 GA 200 kepada pihak kepolisian maupun kejaksaan untuk dijadikan barang bukti dalam persidangan Marwoto.

"Pihak kepolisian secara resmi tidak pernah meminta rekaman data penerbangan (FDR dan rekaman percakapan di kokpit ke KNKT. Sekalipun mereka minta, tidak akan kita berikan. Karena memang begitu aturannya. Isi FDR dan CVR itu masih ada di KNKT sampai sekarang,” ungkapnya.

Barata mengungkapkan bahwa hasil investigasi GA 200 telah diumumkan dalam situs resmi KNKT. ”Tetapi itu tidak dapat dijadikan barang bukti dalam penuntutan di pengadilan. Hal itu juga ditegaskan dalam UU No.1/2009 pasal 395. Isi FDR dan CVR GA 200 masih ada di ketua KNKT,” katanya.

Dalam pernyataan resminya, keempat asosiasi tersebut menilai KNKT telah gagal mempertahankan amanat ICAO) Annex 13. Alasannya adalah karena JPU telah menjadikan data-data penerbangan dan keterangan KNKT sebagai barang bukti di pengadilan terkait kasus kecelakaan pesawat GA 200 milik Garuda Indonesia di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, 7 Maret 2007 silam.

”Jaksa Penuntut Umum telah menggunakan rekaman FDR dan CVR sebagai barang bukti tuntutan di Pengadilan Negeri Sleman Yogyakarta pada 23 Februari lalu. Padahal, ICAO Annex 13 mengamanatkan data penerbangan kotak hitam hanya diizinkan dibuka untuk mencari penyebab kecelakaan pesawat guna meningkatkan keselamatan penerbangan,” papar Presiden APG Capt. Stevanus Gerardus S.

Menurut Stevanus, penggunaan FDR dan CVR dalam persidangan sangat memengaruhi profesi ribuan pilot yang bekerja di maskapai Indonesia. Dengan kenyataan itu, pilot yang mengalami kecelakaan sewaktu-waktu dapat dibawa ke meja hijau dengan bukti FDR dan CVR pesawat seperti yang menimpa pilot Marwoto. Marwoto adalah pilot pesawat Boeing 737-400 PK-GZC milik Garuda yang nahas tersebut. JPU menuntut Marwoto divonis 4 tahun penjara atas kesalahan yang ditudingkan kepadanya.

Asosiasi juga mendesak pengadilan agar menghormati lex specialis derogat legi generali, yang  merupakan azas hukum universal dan menempatkan bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa lain yang menghormati konvensi internasional yang telah diratifikasi me njadi hukum internasional.

"Tanpa menggunakan data maupun barang termasuk keterangan para personel yang bekerja dalam tim penyelidikan keselamatan penerbangan sebagai barang bukti maupun saksi," lanjut Stevanus.

Keempat asosiasi tersebut juga meminta agar segera dibentuknya sebuah lembaga independen yang tepat dan kompeten sebagaimana diamanatkan UU No 1/2009 tentang penerbangan, yaitu sebuah Majelis Profesi Penerbangan.

Pengamat Hukum Penerbangan Kemis Martono, yang juga hadir dalam acara jumpa pers itu mempertanyakan apakah KNKT benar-benar melakukan hal seperti yang ditudingkan keempat asosiasi. Yaitu memberikan hasil penyelidikannya untuk digunakan dalam pengadilan.

”Coba di re-check, apa benar itu didapatkan dari KNKT? Karena, setahu saya, sewaktu diminta pengadilan untuk menjadi saksi dalam kasus ini, KNKT menolak,” ujar Martono. (DIP)