Dalam jumpa pers yang digelar di Dephub pada Senin (12/1) siang itu, Menhub memaparkan bahwa berdasarkan informasi awak kapal yang selamat, KM Teratai terbalik dan tenggelam setelah dihantam gelombang tinggi pada lambung sebelah kiri.

”Nakhoda yang selamat menginformasikan, gelombang tersebut terjadi akibat adanya angin puting beliung,” jelas Menhub yang didampingi Ketua BMG Sri Woro B Hardjono, Ketua KNKT Tatang Kurniadi, dan Ketua badan SAR NAsional (Basarnas) Ida Bagus Sanubari.

Menhub menjelaskan, kapal berlayar dari Pare-Pare untuk berlayar menuju Samarinda pukul 19.00 WITA, setelah memperoleh SPB dari syahbandar dua jam sebelumnya. Kendala yang berujung pada terbaliknya kapal muncul setelah melakukan pelayaran antara 7-8 jam. Diperkirakan, kapal nahas yang mengangkut 250 penumpang dan 17 awak kapal serta muatan kargo seberat 274,5 ton itu tenggelam di lokasi dengan koordinat LS 03.39'.3'' BT 118.51'.6'' dan LS.04'.8'' BT 118.45'.2''.

Belum diketahui kedalaman air yang pasti pada titik tenggelam kapal yang tak berada jauh dengan lokasi jatuhnya pesawat Adam Air 2007 silam. Namun, diperkirakan bahwa perairan yang berjarak sekitar 2 mil laut dari daratan tersebut memiliki kedalaman yang mencapai 2.000 meter.

Selain masalah teknis, Menhub juga meminta KNKT untuk menekankan penyelidikan terkait alasan nakhoda yang diketahui bernama Sabir itu tetap melakukan pelayaran. Padahal, BMG dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut telah mengeluarkan peringatan tentang bahaya melakukan pelayaran pada kondisi cuaca yang buruk saat itu. Termasuk pula alasan syahbandar mengeluarkan surat persetujuan berlayar (SPB) kepada KM Teratai.

Menurut Menhub, penyelidikan terhadap keputusan nakhoda dan syahbandar untuk meneruskan pelayaran di tengah cuaca buruk tersebut sesuai instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepadanya. ”Bapak Presiden meminta Menteri Perhubungan untuk menyelidiki sebab-sebab kecelakaan untuk menjawab pertanyaan pokok, mengapa nakhoda tetap berlayar (di tengah peringatan cuaca buruk),” jelas Menhub.
 
Kendati berdasarkan keterangan nakhoda kapal yang selamat saat itu cuaca di sekitar pelabuhan mendukung untuk berlayar, Menhub menegaskan, idealnya nakhoda tetap harus mengindahkan peringatan yang disampaikan BMG maupun Ditjen Perhubungan Laut dan tidak melakukan pelayaran.

”Mungkin nakhoda kapal merasa lebih tahu situasi dan mengambil pertimbangan sesaat melihat cuaca di lokasi saat itu cerah. Tapi, itu no excuse,” ujar Menhub, seraya mengatakan akan ada yang dituntut ke Mahkamah Pelayaran atas tragedi terbesar di awal tahun 2009 ini.

Dijelaskan, BMG sebelumnya telah mengeluarkan peringatan untuk periode 10 Januari-11 Januari 2009 bahwa ketinggian gelombang di wilayah perairan Majene mencapai di atas 2,5 meter sehingga sangat berbahaya untuk perahu tongkang dan perahu nelayan. Peringatan itu diperkuat instruksi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk menghentikan aktivitas pelayaran hingga kondisi cuaca membaik.

Ketua BMG Sri Woro B Hardjono menambahkan, diperkirakan cuaca buruk yang sangat berisiko terhadap aktivitas pelayaran di perairan tersebut berlangsung hingga 17 Januari mendatang.

”Kami telah memperingatkan agar seluruh pihak waspada karena selain tingginya gelombang laut mencapai 2,5-3 meter hingga 17 Januari mendatang, di perairan tersebut juga terjadi pertemuan angin yang akan berlangsung hingga besok. Cuaca buruk akan terjadi di sejumlah perairan Indonesia hingga Februari 2009, khususnya di bagian selatan khatulistiwa,” jelasnya.

Pertemuan angin itu, jelas Sri, berpotensi kuat menyebabkan terjadinya cyclone (angin topan) di mana kecepatannya melebihi ambang maksimum. Saat kecelakaan terjadi, kecepatan angin di lokasi karamnya KM Teratai mencapai 84 km/jam. Sedangkan batas berbahaya di atas 56 km/jam.

Ditegaskannya, BMG telah berulangkali mengeluarkan peringatan terkait kondisi cuaca buruk tersebut dan terus melakukan pembaruan pemantauan setiap saat melalui satelit. ”Informasi yang kami update secara harian ini langsung kami rilis pada situs BMG. Sebenarnya kapal bisa gunakan info ini,” tegasnya.

Ketua Basarnas Ida Bagus Sanubari mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi mencari korban dan bangkai kapal yang tenggelam. Hingga Senin siang, tercatat 22 korban yang terdiri dari nahkoda kapal, 3 ABK, dan 18 orang penumpang, ditemukan selamat.

Menurut Ida, kondisi cuaca yang tak bersahabat juga menjadi kendala bagi Basarnas dalam melakukan proses pencarian dan penyelamatan. Di satu sisi, jelasnya, arus laut yang kuat arah Tenggara mengubah posisi bangkai KM Teratai Prima dari titik terakhir pantauan via udara.

”Posisi kapal sudah berubah karena arus laut cukup kuat mencapai 56 knot. Apalagi kapal tenggelam di laut dalam yang kedalamannya mencapai 2.000 meter,” ujarnya.

Kesulitan lainnya adalah tidak ditemukannya sinyal penentu posisi darurat dari perangkat emergency transmitter deacon KM Teratai. Sedianya, alat yang tergolong perangkat keselamatan itu bekerja secara otomatis ketika terendam air. Ada kemungkinan, kondisi baterai pada alat tersebut tidak prima, atau frekuensi sinyal berbeda sehingga sinyal yang terpancar tidak tertangkap satelit.
 
Dalam proses pencarian itu, Basarnas dibantu aparat dari kesatuan TNI AL, TNI AU, Marinir, Kepolisian, mahasiswa dan masyarakat setempat. Untuk menyisir posisi dari laut dan udara, diturunkan sedikitnya tiga kapal perang, Boeing 737 Surveilance serta Nomad dan Cassa.

Sementara itu, Ketua KNKT Tatang Kurniadi menjelaskan pihaknya telah mengirimkan tiga orang penyidik untuk mengumpulkan fakta awal penyebab terjadinya tragedi ini ke Pare Pare. ”Besok (Selasa), saya akan menyusul ke sana,” ujar Tatang.

Tatang mengungkapkan, ada tiga faktor yang akan menjadi fokus penyelidikan KNKT. Yakni awak dan kondisi kapal serta kondisi cuaca. ”Untuk kapal, diperoleh informasi kondisinya qualified. Kapal itu beroperasi rutin seminggu sekali. Jumlah penumpang juga tidak mengalami over loaded. Karena kapasitasnya 300, penumpang hanya 250 orang. Namun soal kelengkapan keselamatan penumpang belum tahu terpenuhi atau tidak, itu nanti yang akan kita selidiki juga,” jelasnya.

Tatang memperingatkan, kondisi cuaca buruk tidak hanya terjadi di perairan Majene, tetapi juga di seluruh perairan Indonesia. ”Karena itu, kami mengimbau agar peringatan soal cuaca diperhatikan dan dihitung betul-betul. Kalau perlu konfirmasi ke berbagai pihak sebelum mengambil tindakan, tidak hanya kepada satu pihak,” pungkasnya.

Berdasarkan catatan KNKT, sepanjang tahun 2007, jumlah kecelakaan laut yang terjadi mencapai 62 kasus dengan total korban mencapai 688 orang. Sebanyak 414 orang korban mengalami luka ringan, 200 lainnya fatal/meninggal dunia dan 74 korban dinyatakan hilang. Sementara pada 2008, jumlah kecelakaan laut meningkat menjadi 110 kasus. ”Tetapi jumlah korbannya menurun. Yang luka ringan 100 orang, 40 meninggal dan hilang tiga orang. Total korbannya berjumlah 143 orang,” ungkap Tatang.

Menhub yang menyatakan kawasan perairan Majene sebagai ”Kawasan Waspada” menambahkan, Presiden juga menginstruksikannya untuk memerintahkan pemilik kapal dan perusahaan asuransi untuk memberikan santunan kepada para korban. Presiden juga meminta menhub agar mengimbau para kepala daerah dan pemilik kapal untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap cuaca buruk yang diperkirakan berlangsung sepanjang Januari hingga Februari.

”Kami meminta seluruh operator baik penyeberangan, laut, maupun udara untuk memperhatikan dengan detail setiap masukan mengenai kondisi cuaca. Setiap peringatan harus diwaspadai, jangan terkecoh dengan cerahnya cuaca di tempat keberangkatan,” ujarnya. Saat ini Pelabuhan Samarinda telah menunda seluruh jadwal keberangkatan kapal hingga batas waktu yang tidak ditentukan. (DIP)