Departemen Perhubungan (Dephub) menilai kerusakan jalan yang terjadi belakangan ini bukan hanya akibat kelebihan muatan dan bencana alam. Kerusakan justru lebih banyak disebabkan oleh konstruksi jalan yang tidak memenuhi standar.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Dephub Iskandar Abubakar mengatakan, hasil penelitian yang dilakukan Agus Taufik, seorang dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam tesis untuk mengambil gelar doktoral menyebutkan, penyebab dari kerusakan jalan justru lebih banyak akibat konstruksi yang tidak memenuhi standar sebesar 44 persen. Baik menyangkut kepadatan tanah, beton, dan aspal. Kerusakan lain adalah akibat sistem pengendalian air (drainase) sebesar 44 persen, sedangkan akibat kelebihan muatan hanya 12 persen saja.

Penelitian itu sendiri dilakukan di 28 provinsi dengan 204 responden yang dicek kembali dengan data yang ada. Sehingga hasilnya akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu bukti temuan Taufik adalah kerusakan jalan di luar Jawa seperti wilayah Indonesia Timur. Dimana jalan-jalan itu tidak dilalui kendaraan bermuatan berat.

"kita bisa lihat sendiri, jalan untuk busway saja sudah rusak parah, padahal usianya belumj lama. Demikian juga dengan jalan lain di Jakarta. Ini suatu bukti bahwa penyebab kerusakan jalan bukan hanya akibat kelebihan muatan, tapi juga air dan konstruksi," tuturnya di Jakarta kemarin.

Khusus mengenai masalah kelebihan muatan, menurut Iskandar, pihaknya berencana akan berkoordinasi dengan Departemen Pekerjaan Umum (PU) dan Dinas Perhubungan Provinsi. Terutama untuk menerapkan kebijakan toleransi kelebihan muatan hingga 50 persen. Saat ini, pelanggaran dari jumlah berat ijin (JBI) hanya berkisar 60 persen, setelah dilakukan tindakan kepada pelanggar dengan memberikan sanksi.

"Kami berharap tidak ada lagi pelanggaran kelebihan muatan. Tapi konstruksi jalan juga harus dibenahi dan membuat jalan dengan standar kualitas yang bagus," ujarnya.

Selama ini, lanjutnya banyak kendaraan yang melintas melebihi 80 JBI bahkan sampai 100 persen. Akibatnya, jalan darat rusak lebih cepat diabnding usia efektifnya. Dalam UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) disebutkan, setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus sesuai dengan peruntukannya.

Selain itu juga harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan serta sesuai dengan kelas jalan yang dilalui. Sesuai ketentuan yang ada, jalan kelas II beban muatannya maksimal 10 ton dan jalan kelas II maksimal 8 ton.
"Para Kepala Dinas Provinsi melalui unit Penimbangan Kendaraan Bermotor yang berada di wilayahnya wajib melarang melanjutkan perjalanan bagi mobil angkutan barang yang melanggar lebih 50 persen JBI. Sanksi bisa berupa pengembalian kendaraan ke tempat asal perjalanan,: kata Iskandar.

Kebijakan tersebut, menurut Iskandar, mulai berlaku tanggal 1 Februari 2008 dan saat ini sudah pada tahap penindakan atau tindakan pelanggaran (tilang).
Terhadap mereka yang melanggar, maka akan diproses sesuai hukum yang berlaku termasuk penerapan sanksi-sanksinya. (Sumber Harian Suara Karya/Syamsuri. S)