Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi mengungkapkan, Departemen Perhubungan sendiri saat ini tengah mengupayakan pengadaan laboratorium tersebut. "Setahu saya, usulannya sudah diterima DPR, dan DPR telah setuju soal anggarannya. Departemen (perhubungan) sudah berkoordinasi dengan Atase Perhubungan di Kanada untuk melakukan survey, karena perusahaan pembuat alat pembaca black box-nya itu ada di sana," papar Tatang di ruang wartawan Dephub, beberapa hari lalu.

Laboratorium penelitian black box itu sendiri nantinya diperuntukkan bagi KNKT sebagai organisasi nonstruktural Dephub, untuk mengungkap isi flight data recorder (FDR) pesawat yang terlibat dalam insiden maupun kecelakaan (accident). Menurut Tatang, biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan laboratorium tersebut sedikitnya berkisar hingga USD 250 ribu. "Biaya itu bersifat paket. Tidak hanya untuk alat, tetapi juga software dan pelatihan SDM-nya," jelasnya.

Selama ini, menurut Tatang, pihaknya selalu meminta bantuan institusi keselamatan transportasi Air Accident Investigation Bureau (AAIB) milik Singapura, Australian Transport Safety Bureau (ATSB) milik Australia maupun National Transportation Safety Board (NTSB) di Amerika Serikat untuk membaca kotak hitam ketika melakukan penyelidikan sebuah kecelakaan pesawat.

Tatang menambahkan, kendati ICAO tidak mewajibkan setiap anggotanya untuk memiliki laboratorium black box tersebut, namun menurutnya KNKT sangat perlu untuk memilikinya. "Indonesia itu sudah jadi anggota ICAO sejak 1950. Menurut saya, laboratorium ini perlu kita miliki untuk menjaga independensi dan memaksimalkan penelitian. Meski sesuai aturannya, biaya untuk pembongkaran (black box) itu sendiri gratis," ujarnya. Pengoperasian laboratorium tersebut, imbuh Tatang, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab institusinya untuk menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mengawal keselamatan transportasi di Indonesia (DIP).