Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budhi Mulyawan Suyitno mengungkapkan, ICAO hanya merekomendasikan agar otoritas penerbangan Indonesia membuat fungsi regulator yang otonom, transparan, dan kuat dalam menegakkan hukum.

"Ini penting, karena sebagai regulator, dia menjadi penjaga gawang keselamatan dan penerbangan. Kalau nggak kuat, kan, nanti jebol terus," jelasnya saat ditemui di kantornya usai melakukan Salat Jumat (1/8).

Sebagaimana diberitakan, Uni Eropa mengatakan bahwa otoritas penerbangan Indonesia, dalam hal ini Ditjen Perhubungan Udara, belum secara keseluruhan menyelesaikan temuan hasil audit menyeluruh (Universal Safety Oversight Audit Programme/USOAP) yang dilakukan ICAO tersebut. Di mana salah satu dari 121 temuannya, menurut Komisi UE, mendesak agar Ditjen Perhubungan Udara Independen secara total.

"Kita tahu tentang 121 findings USOAP ICAO itu. Tetapi tidak hanya soal Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Di dalamnya juga ada juga (temuan yang terkait) Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara, Direktorat Keselamatan Penebangan, serta Diretorat Teknik Bandara. Di luar Ditjen, ada KNKT, Basarnas dan BMG. Jadi, masing-masing dapat PR," papar Budhi.

Atas dasar itulah, katanya, Ditjen Perhubungan Udara tetap akan menjadi bagian dari Dephub. "ICAO pada prinsipnya hanya mendesak adanya kejelasan dari fungsi regulator, service provider atau pelayanan umum, dan operator. Ini yang akan kita upayakan," katanya.

Budhi mengakui, saat ini memang masih ada sejumlah peran regulator yang dijalankan oleh operator. Salah satunya adalah peran administrator bandara yang dijalankan perusahaan pengelola bandara, PT Angkasa Pura I dan II, di sejumlah wilayah.

"Saat ini kita punya 23 bandara, tetapi baru lima bandara yang ada administrator bandaranya sebagai perpanjangan tangan pemerintah sebagai regulator. Sisanya masih dirangkap oleh Kacab-kacab Angkasa Pura. Ini yang masih dianggap abu-abu. Ini sudah kita upayakan dengan membentuk Air Navigation Single Provider untuk menyatukan seluruh pelayanan menjadi satu," ungkapnya.

Kemudian, Budhi menambahkan, temuan ICAO yang terkait dengan masalah keselamatan penerbangan sendiri hanya mencakup 69 item. Sekitar 30 persen dari jumlah tersebut, katanya, terkait dengan regulasi dan saat ini sedang diupayakan penyelesaiannya bersama dengan DPR.

"Itu semua ada dalam RUU Penerbangan. Kemudian dari 70 persen sisanya, sebanyak 61 di antaranya sudah selesai dan kita laporkan ke UE. Sedangkan 9 persen sisanya lagi, berkaitan dengan kerja sama antara ICAO dengan Ditjen Perhububungan Udara yang akan ditandatangani pekan depan. Jadi, kalau dibilang UE masih ada 65 item yang belum selesai, itu salah," rinci Budhi.

Menurut Budhi, untuk memberikan informasi yang benar terkait polemik tersebut, dia telah mendatangi kantor ICAO untuk kawasan Asia Tenggara, di Bangkok. "Di sana saya bertemu dengan ICAO South-East Asia Regional Office officer, Rodgraf. Mereka ingin mengetahui perkembangan yang terjadi di Indonesia, termasuk bangaimana persiapan untuk menyelesaikan temuan ICAO," ungkapnya.

Kerja Sama Teknis ICAO

Seleanjutnya Budhi memaparkan, Ditjen Perhubungan Udara dengan ICAO pekan depan akan menandatangani kerjasama meliputi Management Services Agreement (MSA) Annex1 dan Annex2.

Salah satu bentuk implementasi dari kerja sama MSA Annex1, papar Budhi, antara lain meliputi penempatan lima tenaga ahli inspektur operasi penerbangan pesawat berbadan besar (wide body) ICAO. "Mengapa wide body, karena inspektur-inspektur wide body kita sudah pada pensiun. Dulu kita punya kapten untuk Boeing 747 series dan , Kapten Airbus 300," ujarnya.

Kelima inspektur tersebut nantinya akan bertugas bersama para inspektur operasi penerbangan Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU), selama kurun tiga tahun. "Mereka di sini sambil membantu mendidik inspektur kita dan mentransfer pengetahuan dan pengalaman. Sekalian juga mengamati dan mengevaluasi praktek yang selama ini dijalankan. Kita ingin DSKU memiliki nilai tambah," lanjut Budhi.

Budhi optimistis, kerja sama itu akan memberikan hasil yang optimal dan membantu dalam upaya perbaikan-perbaikan kualias penerbangan sipil Indonesia. "Karena hal serupa juga pernah dilakukan oleh otoritas Belanda, DGTL, dengan Garuda Indonesia. Itu baru dilakukan Mei (2008) kearin," ungkapnya. Para inspketur DGTL tersebut berada di Indonesia selama satu bulang untuk mengawasi pilot Garuda melakukan enroute check.

Sedangkan fokus kerja sama terkait impelementasi MSA Annex 2, meliputi pembentukan Tim Transformasi Penerbangan Sipil (Civil Association Tranformation Team/CATT). Tim ini akan mengakomodasi komunitas internasional, baik dari kalangan otoritas penerbangan, industri, maupun asosiasi profesi dunia dan Indonesia.

"Mereka akan bergabung menjadi satu tim yang secara intensif memberikan masukan mengenai kebijakan-kebijakan keselamatan penerbangan yang dianut di standar internasional," pungkas Budhi. (DIP)