Dari kebutuhan dana sebesar itu, kemampuan self finance dari perusahaan pelayaran nasional hanya sekitar 9 trilyun rupiah selebihnya sebesar kurang lebih 34 trilyun rupiah diharapkan dapat didukung pendanaan dari perbankan. Penjelasan tersebut dikemukakan oleh Dirjen Perhubungan Laut Effendi Batubara ketika berbicara sebagai nara sumber utama pada acara Business Meeting "Pembiayaan Perbankan Pada Industri Pelayaran/Perkapalan" yang diselenggarakan di Menara Sjafruddin Prawiranegara Bank Indonesia Senin 24 Maret 2008.

Selanjutnya Effendi menjelaskan bahwa kebutuhan kapal untuk implementasi asas cabotage pada tahun 2010 adalah sebanyak 654 buah kapal dengan jenis-jenis kapal diantaranya adalah kapal untuk general cargo, container, tanker dan coal carrier.
Pengadaan 654 buah kapal dengan kebutuhan biaya sebesar kurang lebih 43 trilyun rupiah tersebut dengan asumsi kapal bekas yang masih dalam kondisi baik. "Jika asumsinya pengadaan kapal baru maka biaya yang dibutuhkan jauh lebih besar", kata Effendi. Sejak dikeluarkannya Inpres tersebut hingga Desember 2007 tercatat penambahan jumlah armada kapal nasional sebanyak 1.422 buah atau 23,5 %.

Namun Effendi menambahkan bahwa penambahan armada kapal nasional tersebut lebih banyak didominasi dari pengalihan bendera kapal milik perusahaan nasional yang berbendera asing menjadi berbendera Indonesia. "Kita optimis terhadap pencapaian road map menuju tahun 2010 mengingat sampai sekarang tahapan-tahapan yang direncanakan tidak terdapat masalah yang berarti tetapi ini membutuhkan peran serta semua pihak termasuk kalangan perbankan" ujar Effendi.

Sementara itu Deputy Gubernur Bank Indonesia Muliaman D Hadaad yang membuka acara tersebut mengakui bahwa perbankan nasional saat ini masih belum optimal mendukung upaya pembiayaan pengadaan kapal ini. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi/pengetahuan secara lengkap dan up to date tentang industri pelayaran/perkapalan.
"Selama ini masih banyak persepsi bahwa industri perkapalan merupakan industri yang high risk, slow and low yielding, butuh modal besar dan belum ada (mekanisme) kontrak pengangkutan jangka panjang" kata Hadaad. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya agar pihak perbankan dapat memperoleh informasi yang utuh dan up to date mengenai aspek bisnis pembiayaan industri perkapalan sehingga mereka akan tertarik.

Haadad juga menambahkan bahwa ke depan perlu dilakukan kegiatan pelatihan kepada para analis kredit perbankan guna meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam menganalisa permohonan kredit dari kalangan industri pelayaran/perkapalan. Dengan adanya kompetensi yang lebih baik diharapkan perhak perbankan tidak lagi mengalami keraguan untuk terjun dalam pembiayaan industri perkapalan/pelayaran.

Kegiatan Business Meeting "Pembiayaan Perbankan Pada Industri Pelayaran/Perkapalan" diselenggarakan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan. Acara ini merupakan langkah konkret mempertemukan kalangan perusahaan pelayaran/perkapalan yang membutuhkan pembiayaan dengan pihak perbankan, dalam rangka mendukung implementasi asa cabotage sesuai amanat Inpres no 5 Tahun 2005.

Pertemuan ini juga merupakan tindak lanjut dari workshop "Prospek dan Peluang Pembiayaan Contract Based Armada Pelayaran Nasional pada Industri Migas" yang pernah dilaksanakan pada tanggal 25 April 2007. (BRD)